Demikian salah satu kesimpulan yang mengemuka dalam Diskusi ”Refleksi 13 Tahun Reformasi: Mewujudkan Cita-cita yang Tertunda” di Gedung Joeang 45, Jakarta, Sabtu (21/5). Acara yang digelar Generasi Muda Amanat Reformasi itu dibuka dengan pidato tokoh reformasi yang sekaligus mantan Ketua MPR M Amien Rais. Pembicaranya, aktivis Gerakan Indonesia Bersih Adhie Massardi, aktivis buruh Dita Indah Sari,
Amien Rais mengingatkan, gerakan Reformasi 1998 telah menjalankan beberapa agenda penting. Presiden Soeharto yang saat itu dianggap sebagai masalah bangsa telah diturunkan. Dwifungsi ABRI ditolak, sementara otonomi daerah dikembangkan.
Namun, ada agenda penting lain yang belum terwujud, yaitu pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme alias KKN. Lemahnya penegakan hukum saat ini membuat korupsi kian marak. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hanya menangani kasus-kasus korupsi kecil, sementara kasus besar justru tak tersentuh. Nepotisme masih menjadi masalah.
Menurut Adhie Massardi, kehidupan bangsa yang belum membaik bukanlah akibat reformasi atau demokrasi. Keterpurukan bangsa ini terjadi akibat elite politik dan pemimpin yang pegang kekuasaan tidak menjalankan amanah. Mereka hanya memikirkan kepentingan diri sendiri dan kelompoknya.
Mantan aktivis perburuhan yang kini bekerja di Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Dita Indah Sari, mengajak kaum muda dan aktivis penggerak Reformasi 1998 untuk melakukan otokritik pada diri sendiri. Mereka fokus menumbangkan kekuasaan otoriter, tetapi kemudian tidak mau masuk dalam arena politik yang melahirkan kebijakan, seperti jabatan pemerintahan, kepala daerah, legislatif, atau partai politik. Akibatnya, tidak ada kontrol atas kebijakan publik. ”Kita kehilangan momentum untuk mewujudkan agenda reformasi dalam dinamika politik yang nyata,” katanya.
Iwan Dwi Laksono berharap, kaum muda sekarang mau melanjutkan agenda-agenda reformasi yang belum tuntas. Jangan serahkan agenda reformasi kepada para politisi busuk yang hanya berpikir pragmatis.
Dalam diskusi Reformasi Mati Suri di Jakarta kemarin, Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Eryanto Nugroho mengatakan, era reformasi saat ini memasuki sebuah persimpangan. Masa ini dinilai sangat rawan karena agenda reformasi terancam dibajak kembali oleh kekuatan-kekuatan antireformasi. ”Kita sekarang berada di persimpangan, khususnya dalam reformasi hukum,” katanya.
PSHK melihat ada pertempuran antara kekuatan proreformasi dan antireformasi, khususnya dalam proses legislasi. Ada tiga babak dalam pertempuran itu. Babak pertama adalah peletakan dasar-dasar kelembagaan reformasi hukum (1999-2004), babak kedua intensitas pemekaran wilayah sebagai ajang pembagian sumber daya manusia (2004-2009), dan babak ketiga potensi pembajakan agenda reformasi (2009-2014).