Isi Inpres yang tertunda lima bulan itu dinilai tidak melindungi secara nyata masa depan hutan. Masih ada pengecualian dan hanya mengatur hutan primer yang tak luas lagi.
”Inpres justru menjadi legitimasi menghabisi hutan sekunder demi alasan ekonomi,” kata Direktur Eksekutif Greenomics Indonesia Elfian Effendi, Jumat (20/5). Pemerintah seharusnya menyeleksi hutan-hutan sekunder yang masih berpotensi dipulihkan.
Greenomics Indonesia berharap Inpres direvisi untuk mencegah berlangsungnya deforestrasi di 36,6 juta lahan hutan sekunder yang masih baik.
Pendapat lain, ada berbagai potensi kebocoran pelaksanaan Inpres. Kebocoran tak semata- mata karena bupati, wali kota, atau menteri yang tak mengindahkan Inpres. Namun, dalam pelaksanaan di lapangan, sebenarnya sudah tak relevan karena nyaris tak ada lagi hutan primer.
Peta terlalu kecil
Guru Besar Kebijakan Kehutanan IPB Hariadi Kartodihardjo menilai, skala Peta Indikatif yang dilampirkan dalam Inpres terlalu kecil. Itu akan menyulitkan pelaksanaan dan pengawasan penetapan hutan alam primer, gambut, dan sekunder.
”Terkait perizinan, peta harus jelas. Paling tidak menggunakan peta 1:100.000,” kata dia. Adapun Peta Indikatif dalam Inpres berskala 1:19 juta.
Pada jumpa pers kemarin, Staf Khusus Presiden Bidang Perubahan Iklim Agus Purnomo mengatakan, Inpres dan peta lampirannya akan disebarluaskan ke seluruh instansi pemerintah dan pemerintah daerah. ”Peta ini menjadi satu-satunya yang digunakan dalam pengelolaan kehutanan. Meski demikian, peta ini bisa direvisi tiap enam bulan sekali jika ditemukan bukti ketidakcocokan,” kata dia.
Sehari sebelumnya, pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Moch Jasin meminta agar disediakan peta baku berskala 1:25.000.