Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

BPJS Beratkan Pengusaha

Kompas.com - 19/05/2011, 02:48 WIB

Hasbullah Thabrany

Minggu lalu, setelah pekerja berdemo menuntut pemerintah untuk menyelesaikan UU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, akhirnya sikap pemerintah melunak. Tuntutan pekerja agar pemerintah segera menjalankan UU Sistem Jaminan Sosial Nasional membuahkan hasil sementara ini.

Semua negara kuat ditopang sistem jaminan sosial yang baik sejak lebih dari setengah abad. Namun, untuk menjalankan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dibutuhkan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang bukan badan usaha milik negara dengan manajemen terbuka dan sesuai dengan visi-misi jaminan sosial.

Penetapan PT (Persero) Jamsostek tahun 1995 untuk mengelola program Jamsostek adalah kekeliruan mendasar. Sebuah PT adalah instrumen dagang yang tidak boleh memonopoli. Padahal, program Jamsostek mengelola iuran wajib, tidak ada bedanya dengan pajak penghasilan, yang bukan urusan dagang.

Lebih dari enam tahun lalu UU SJSN—menindaklanjuti perintah UUD Pasal 34 Ayat 2—merumuskan jaminan sosial bagi seluruh rakyat. Untuk menjalankan SJSN yang benar, diperlukan BPJS yang bukan BUMN.

Namun, sejak tahun lalu pemerintah menolak mentransformasi PT Jamsostek menjadi BPJS. Padahal, pemerintah telah membentuk badan khusus Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS) dan Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) yang merupakan transformasi dari BUMN PT Bank Ekspor Indonesia. Penjelasan UU SJSN jelas-jelas menyebutkan bahwa BPJS adalah transformasi badan penyelenggara yang sudah ada. Ada apa?

DPR mengusulkan, dalam RUU BPJS rumusan transformasi BPJS adalah sebagai suatu badan hukum yang bukan BUMN, dikawal/dikendalikan unsur tripartit yang disebut wali amanat (pekerja pemilik dana, pemberi kerja yang mengiur, dan pemerintah). Namun, dalam usulan baru, pemerintah masih ingin mengendalikan PT Jamsostek sebagai BUMN.

BPJS baru

Dalam usulan yang disampaikan Menteri Keuangan, pemerintah tetap mempertahankan empat BUMN (Asabri, Askes, Jamsostek, dan Taspen) dan mengusulkan dua BPJS baru sebagai penyelenggara SJSN. Satu BPJS untuk menyelenggarakan jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, dan jaminan kematian, sedangkan BPJS lainnya menyelenggarakan jaminan hari tua dan jaminan pensiun untuk seluruh rakyat. Kesediaan pemerintah membuat BPJS yang bukan BUMN dengan pengaturan tata kelolanya tentu saja merupakan satu langkah maju.

Sebelumnya pemerintah ngotot tidak bersedia membahas RUU BPJS yang berisi pembentukan dan pengaturan tata kelola BPJS. Pemerintah hanya bersedia menetapkan BPJS, yang tata kelolanya tetap tata kelola BUMN dan sepenuhnya di bawah kendali pemerintah.

Kengototan pemerintah itu telah memicu reaksi keras serikat pekerja yang sangat dirugikan dengan terlambatnya penerapan SJSN. Jutaan pekerja hingga kini masih menderita akibat tidak tersedianya jaminan kesehatan dan tertundanya penerimaan pensiun bulanan yang menjadi hak mereka.

Konsekuensi usulan pemerintah—jika disetujui DPR—akan menghasilkan dua program jaminan sosial yang memberatkan pengusaha dan melemahkan SJSN.

Dua BPJS yang baru dibentuk mengelola lima program jaminan sesuai UU SJSN. Namun, UU Jamsostek masih dipertahankan. Padahal, UU SJSN memerintahkan agar keempat BUMN menyesuaikan diri dengan UU SJSN. Artinya, setelah penyesuaian diri, PT Jamsostek menjadi BPJS menurut UU SJSN. Bukan masing-masing berdiri sendiri dan menghasilkan beban ganda.

UU Jamsostek mengharuskan pemberi kerja (pengusaha dan lain-lain) membayar iuran untuk pekerjanya. Pengaturan tersebut sudah direvisi oleh UU SJSN dengan keharusan iuran ditanggung bersama oleh pengusaha dan pekerja.

Kewajiban ganda

Jika pemerintah tetap mempertahankan PT Jamsostek, maka pemberi kerja punya kewajiban ganda: membayar iuran SJSN dan iuran Jamsostek. Ini tentu saja merupakan keanehan sistem jaminan sosial di dunia. Selain menimbulkan beban ganda, koordinasi hak-hak pekerja yang diberikan oleh BPJS baru dan PT Jamsostek menambah beban administrasi dan ketidakpastian.

Tidak jelas, mengapa pemerintah masih tidak bersedia mentransformasi PT Jamsostek menjadi BPJS Jamsostek, karena pemerintah telah mentransformasi PT Bank Ekspor Indonesia menjadi LPEI, badan hukum yang bukan BUMN.

Spekulasi pun muncul bahwa uang Jamsostek mungkin tidak sesuai dengan yang kini dipublikasikan. Ini akan terungkap apabila akuntan publik mengaudit dana Jamsostek sebagai neraca awal BPJS. Spekulasi lain adalah pemerintah takut atas guncangan rencana investasi pemerintah yang antara lain mengandalkan dana pekerja di Jamsostek yang melebihi Rp 100 triliun. Sesungguhnya investasi tidak akan terganggu sejauh disetujui pemilik dana (pekerja) dan penyetor dana (pengusaha) dengan imbal hasil layak.

Spekulasi yang lain lagi adalah pemerintah ”membeli waktu” agar UU SJSN tidak dilaksanakan. Sebab, sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku, jika RUU BPJS tidak bisa disepakati menjadi UU BPJS bulan Juli ini, maka RUU BPJS dan berikut jaminan sosial tidak bisa dijalankan sampai presiden baru terpilih tahun 2014. Hal ini tidak sesuai janji prorakyat yang diusung Presiden SBY.

Pertanyaan besarnya adalah, mengapa pemerintah bersikap diskriminatif?

Untuk menjamin penabung dan pengekspor (yang punya duit), pemerintah cepat tanggap menghasilkan dan menjalankan LPS dan LPEI—keduanya bukan BUMN. Tetapi, untuk menjamin pekerja yang terancam bangkrut karena sakit dan tidak memiliki uang pensiun bulanan, pemerintah tidak mau mengubah BUMN menjadi BPJS.

Kecuali pemerintah secara terbuka menyampaikan dan mendiskusikan keberatan fakta-fakta lain, persoalan ini akan meningkatkan ketidakpuasan rakyat.

Hasbullah Thabrany Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com