Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Terorisme Bawah Sadar

Kompas.com - 15/05/2011, 03:55 WIB

Jarak dan pembatas antara alam sadar dan bawah sadar, alam nyata dan kematian, serta masa kini dan akan datang, tak ada lagi. Semua bisa dimanipulasi lewat keunggulan teknologi. Semua dihalalkan atas nama ”kebaikan”, yang dalam hal ini keamanan dalam negeri AS.

Colter Stevens, pilot helikopter AS yang ditugaskan di Afganistan, tiba-tiba terbangun dari mimpi buruknya dan mendapati dirinya duduk di dalam kereta api yang sedang melaju menuju Chicago. Di hadapannya duduk seorang perempuan cantik, Christina Warren (Michelle Monaghan), yang terus memanggilnya dengan nama Sean.

Keganjilan juga terus terjadi. Setiap kali Stevens menatap cermin, yang muncul di situ bukan wajah yang dikenalnya, tapi wajah asing, yang menurut identitas di dompetnya bernama Sean Fentress.

Namun, belum sempat kebingungan itu terjawab, tepatnya di menit kedelapan, kereta api itu meledak dan hancur berkeping-keping. Stevens kembali bermimpi buruk dan ketika ”sadar” ia sudah berada di dalam--sebutlah--kapsul berpendingin dengan layar monitor yang menghubungkannya dengan sebuah markas (militer), di mana Colleen Goodwin (Vera Farmiga) dan atasannya, Dr Rutledge (Jeffry Wright), menjadi penghubungnya di layar.

Atas perintah Goodwin dan tentunya melalui manipulasi teknologi canggih yang mengontrol kerja otaknya, Stevens harus bolak-balik kembali dari satu ruang waktu (di kereta api) ke ruang waktu lainnya (di kapsul). Namun, hidupnya di kereta api hanya dibatasi delapan menit. Dalam waktu yang sempit itu ia harus menuntaskan misi negara: menemukan bom yang meledakkan kereta api, menemukan sang teroris, dan mencegah serangan selanjutnya. Bila selama delapan menit itu misi belum berhasil, ia dikembalikan lagi. Begitu seterusnya.

The Matrix-Avatar 

Source Code bukanlah film pertama yang memanipulasi kompleksitas otak manusia. Sebelumnya telah ada film-film fenomenal, seperti The Matrix, Avatar, dan tentu saja Inception. Meski demikian, gagasan cerita ini tetap menarik. Mengibaratkan fungsi otak manusia seperti bola lampu, di mana ketika lampu dipadamkan efek halo masih tersisa, begitu juga dengan otak manusia.

Tapi penjelasan berbau ”ilmiah” itu tak penting di sini. Fokus cerita adalah pada kepiawaian Stevens menyelesaikan misinya dalam waktu delapan menit karena perhatiannya sering terdistraksi oleh detail lain di sekelilingnya, terutama oleh pesona Catherine.

Ketika misinya dianggap selesai, Stevens meminta agar dia diberi kesempatan sekali lagi untuk kembali ke kereta api dan menyelesaikan misi pribadinya. ”Begitu delapan menitku selesai, tolong matikan mesinnya,” pinta Stevens kepada Goodwin.

Misi pribadi Stevens tercapai persis di menit kedelapan. Dan mesin penyangga otaknya (mirip seperti yang digambarkan pada film Avatar) dimatikan. Di detik itu, waktu pun membeku. Di saat ia mencium Catherine, di saat penumpang kereta api tertawa mendengar lelucon seorang penumpang. Membeku seperti sebuah lembaran foto.

Andai saja film itu berakhir di sini, ending-nya akan menjadi kuat. Namun, hasrat sutradara Duncan Jones untuk ”menjelas-jelaskan” rupanya lebih kuat. Dan jadilah sebuah penutup yang kurang menohok. (MYRNA RATNA) 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com