Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pancasila Kita

Kompas.com - 14/05/2011, 04:48 WIB

Oleh BUDIARTO SHAMBAZY

Kata oxymoron merujuk pada gaya bahasa yang menggunakan kata-kata bertolak belakang. Oxys berarti ’tajam’, moros berarti ’pandir’.

Jika menyebut atau menulis frasa oxymoron, Anda mengombinasikan gagasan-gagasan yang berlawanan. Kalau mereka digabungkan, makna frasa itu jadi paradoks yang tak masuk akal.

Frasa oxymoron misalnya ”etika bisnis” atau ”moral politik”. Di negeri lain, praktik bisnis menjunjung etika karena sistem hukumnya dipatuhi setiap orang. Di mana pun, tujuan politik pasti mulia karena ingin menyejahterakan rakyat. Pilpres Amerika Serikat, misalnya, bersih dari politik uang berkat ketatnya pengawasan dana kampanye.

Namun, bisnis di sini tak selalu beretika sejak era Ali Baba sampai era KKN versi reformasi. Politik tak bermoral karena skandal-skandal politisi melebihi yang terjadi di Hollywood. Kesimpulannya, bangsa ini telah lama terjangkit penyakit oxymoronology. Ia bukan cuma memelesetkan makna, melainkan juga merusak hakikat, mengelabui hati nurani, mengibuli diri sendiri, dan memecah belah.

Frasa oxymoron yang paling tepat menggambarkan kondisi bangsa belakangan ini ialah ”komedi tragis”. Komedi semestinya menghibur dan dilarang tragis. Namun, yang terjadi sebaliknya: semua tragedi bangsa mengandung elemen-elemen komedi yang jauh lebih jenaka ketimbang lawakan karena politisi lebih lucu daripada pelawak.

Contohnya, komedi pemilihan ketua umum PSSI. Maunya memilih ketua umum PSSI secara demokratis membuka peluang bagi mereka yang berminat mereformasi sepak bola. Namun, yang terjadi sebaliknya: melarang George Toisutta dan Arifin Panigoro mencalonkan diri dengan alasan-alasan misterius.

Tragisnya, yang melarang bukan pemilik suara 101 anggota PSSI yang menjalankan aktivitas sepak bola sehari-hari, mulai dari menyiapkan pertandingan sampai menggaji pemain. Lebih tragis lagi, pemilihan tergantung dari Statuta FIFA yang bolak-balik dilanggar dan ditegakkan sesuai dengan kebutuhan.

Komedi tragis yang berkaitan dengan olahraga yang akhir-akhir ini juga menyita perhatian berkaitan dengan penyidikan korupsi wisma atlet SEA Games. Siapa yang tak merasa geli: kita mau jadi tuan rumah SEA Games dan berambisi menjadi juara umum karena sudah lama haus gelar pesta olahraga multicabang ini.

Kisruh PSSI dan korupsi SEA Games melanggar prinsip-prinsip olahraga yang seharusnya dijunjung tinggi. Sepak bola secara universal dikenal sebagai the beautiful game yang mengedepankan asas fair play, tetapi di negeri ini berubah jadi the ugly game dan mengedepankan asas unfair play.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com