Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kearifan Lokal Antikorupsi

Kompas.com - 14/05/2011, 03:51 WIB

Oleh Stanislaus Sandarupa

Pernyataan Bung Hatta bahwa korupsi telah membudaya menjadi kenyataan di seluruh Tanah Air. Tindakan hukum telah diambil untuk pemberantasannya, tetapi mengapa praktik ini tak juga kunjung berhenti? Lalu apa yang salah?

Banyak ahli, semisal Rocky Gerung dan Ignas Kleden, dalam berbagai kesempatan memperingatkan pentingnya kebudayaan untuk mencegah tingkah laku negatif dan menangkal godaan perilaku korupsi. Namun, terkadang pandangan tersebut dianggap estetis dan romantis belaka.

Pandangan tersebut perlu digarisbawahi karena kenyataan menunjukkan, para koruptor yang sudah ditangkap berasal dari daerah yang budayanya malah sarat dengan kearifan antikorupsi. Dengan kata lain, para koruptor tidak lagi berbudaya dan tidak mempraktikkan kearifan budaya lokalnya dalam melaksanakan tugas mereka.

Kearifan lokal

Bila diteliti secara saksama, tema utama setiap budaya di Indonesia adalah kearifan-kearifan lokal, suatu prinsip kognitif yang dipercaya dan diterima penganutnya sebagai sesuatu yang benar dan valid. Kearifan-kearifan ini menjadi serangkaian instruksi bagi masyarakat dalam kegiatan kesehariannya, termasuk melakukan tugas kantor untuk hidup bersih dan menghindari perilaku koruptif. Karena itu, setiap orang Indonesia mesti menguasai dan mempraktikkan kearifan lokal budayanya dalam bekerja.

Kearifan lokal yang sangat terkenal adalah budaya alus masyarakat Jawa. Geertz mengatakan bahwa pola etiket, termasuk bahasa, dianggap sebagai kapital emosional yang sangat mempertimbangkan kebahagiaan orang lain. Seseorang melindungi orang lain dengan formalitas tingkah laku (lahir) yang melindungi stabilitas kehidupan dalam (batin) (Clifford Geertz, 1970).

Terlebih lagi, kata Errington, budaya ini menuntut penganutnya melakukan tindakan apa saja dan memperhalusnya (mbesut) baik tingkah laku bahasa maupun nonbahasa (J Joseph Errington, 1988). Diungkap pada tingkat- tingkat tutur dari kasar ke halus, kearifan lokal budaya ini menuntut penganutnya punya kesamaan ke-alus-an dari hati nurani ke tampilan luar. Inilah kearifan lokal yang dapat menangkal perilaku negatif terhadap sesama, termasuk godaan korupsi.

Kearifan lokal dalam budaya- budaya di Sumatera juga melimpah. Misalnya dalam masyarakat Gayo dikenal sejumlah maksim otoritatif sebagai pesan adat (kata edet) yang diturunkan nenek moyang (John R Bowen, 1991). Maksim-maksim ini mengandung kebenaran-kebenaran budaya yang direvitalisasi ke dalam berbagai konteks perkawinan, politik, dan kehidupan keluarga. Diungkapkan dalam bahasa sastra, maksim menuntun tingkah laku yang berbudaya. Misalnya, maksim 2 dalam tulisan Bowen berbunyi: murip i kandung edet, mate i kandung bumi (hidup dikelilingi adat, kematian dikelilingi tanah). Sebagaimana tanah mengelilingi tubuh yang sudah mati, adat membangun kepribadian seseorang dengan mengatur tingkah laku bersih, dan menghindarkan diri dari berbagai godaan, termasuk korupsi.

Hal yang sama ditemukan dalam kebudayaan Bugis di Sulawesi Selatan. Membaca pappasang atau pesan leluhur yang tertulis dalam aksara lontar ditemukan banyak kearifan lokal. Orangtua yang hendak melepas anaknya merantau berpesan agar sang anak berpegang teguh pada: dua kuala sappo (dua yang saya ambil sebagai pagar): unganna panasae–lempu (tunas nangka yang disebut lempu), belona kanukue–pacce (hiasan pewarna kuku yang disebut pacce).

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com