Oleh
Setiap sila disebutkan, hadirin bertepuk riuh, diakhiri dengan aplaus panjang. Tampak di sana, betapapun rumusan Pancasila itu digali dari bumi Indonesia, kandungan nilainya bisa diterima secara universal.
Keberanian Bung Karno mengampanyekan Pancasila kepada dunia kembali disampaikan dalam pidatonya di PBB, 30 September 1960, yang berjudul ”To Build the World Anew”. Ia menyangkal pendapat seorang filsuf Inggris, Bertrand Russel, yang membagi dunia ke dalam dua poros ideologis.
”Maafkan, Lord Russell. Saya kira Tuan melupakan adanya lebih dari 1.000 juta rakyat, rakyat Asia dan Afrika, dan mungkin pula rakyat Amerika Latin, yang tidak menganut ajaran Manifesto Komunis ataupun Declaration of Independence.”
Selanjutnya ia katakan, Indonesia tidak dipimpin oleh kedua paham itu, tidak mengikuti konsep liberal ataupun komunis. ”Dari pengalaman kami sendiri dan dari sejarah kami sendiri, tumbuhlah sesuatu yang lain, sesuatu yang jauh lebih sesuai, sesuatu yang jauh lebih cocok.” Lantas ia simpulkan, ”Sesuatu itu kami namakan Pancasila.”
Jalan tengah Pancasila itu bukanlah pilihan oportunis yang timbul dari lemahnya kepercayaan diri, melainkan pancaran karakter keindonesiaan. Karakter keindonesiaan itu pertama-tama tercetak karena pengaruh ekosistemnya.
Sesuai karakteristik lingkungan alamnya, sebagai negeri lautan yang ditaburi pulau-pulau, karakter keindonesiaan juga merefleksikan sifat lautan. Sifat lautan adalah menyerap dan membersihkan, menyerap tanpa mengotori lingkungannya. Sifat lautan juga dalam keluasannya mampu menampung segala keragaman jenis dan ukuran.
Sebagai ”negara kepulauan” terbesar di dunia, yang membujur di titik strategis persilangan antarbenua dan antarsamudra, dengan daya tarik kekayaan sumber daya yang berlimpah, Indonesia sejak lama jadi titik temu penjelajahan bahari yang membawa berbagai arus peradaban. Maka, jadilah Indonesia sebagai taman sari peradaban dunia dengan mental penduduknya yang berjiwa kosmopolitan.