Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sukanto: Jadi Anggota NII "Nyetor" Terus

Kompas.com - 04/05/2011, 19:13 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com — Sukanto pernah bergabung dengan gerakan Negara Islam Indonesia selama lebih kurang lima tahun, tepatnya tahun 1996 hingga 2001. Setelah berhasil keluar dari gerakan ini, Sukanto membentuk suatu lembaga pemulihan korban NII yang disebut NII Crisis Center. Sukanto menyadari sulitnya keluar dari gerakan ini karena ideologi memaksa mereka melupakan logika. Pengalaman mendorong Sukanto menilai bahwa rugi menjadi anggota NII.

"Ya, rugi karena kita cuma disuruh nyetor-nyetor aja," katanya kepada wartawan di gedung DPD, Jakarta, Rabu (4/5/2011).

Setiap hari para pengikut Negara Islam Indonesia (NII) diminta menyetor uang dan harta kepada kepala desa. Ada sembilan pos keuangan yang harus dipenuhi oleh para anggota. Salah satunya pos infak, yaitu sebesar 25 dollar. Namun, menurut dia, bukan hitungan dollar Amerika. Jika tak mampu memenuhi setoran, mereka menuai teguran keras.

"Kalau tidak memenuhi setoran, ya, dimarahi. Ada yang dilempar gelas, ada yang dipukuli. Kalau perempuan enggak dikerasin karena nanti mereka lari. Enggak ada target jumlah tertentu, tetapi harus menyerahkan setiap hari," ujarnya.

NII hanya mendorong bahwa setiap anggota harus menyerahkan setoran. Sumber setoran dibebaskan untuk meraupnya dari mana saja. Menurut Sukanto, NII memandang bahwa siapa pun di luar NII adalah orang kafir, bahkan orangtua sekalipun. Menurut dia, harta mereka halal sehingga NII membolehkan para anggotanya untuk mencuri mobil teman atau emas orangtua.

Sukanto dan rekan-rekannya waktu itu hanya tahu bahwa uang-uang tersebut digunakan untuk pembangunan Pondok Pesantren Al-Zaitun yang disebut-sebut sebagai pusat pengembangan gerakan NII.

Para anggota juga harus taat pada keputusan dari para pemimpin, termasuk dukungan politik pada saat musim pemilu legislatif dan pemilu presiden. Menurut dia, NII tak menargetkan segmen tertentu untuk menjadi anggotanya. Semua masyarakat, jika mau, bisa direkrut. Hanya saja, anak muda dan pelajar menjadi orientasi utama.

"Karena, secara ekonomi, mereka mampu menjadikan orangtunya sebagai fasilitas keuangan. Kedua, jaringannya banyak, bisa merekrut teman-teman yang lain," katanya.

Sukanto sendiri sepakat bahwa NII telah berubah ideologinya menjadi sangat pragmatis. Siapa yang membantu, itu yang menjadi teman. Semuanya diukur pula dengan uang.

"Ini gerakannya kelihatan pudar ideologinya karena orientasinya permasalahan Islam dikesampingkan, ideologi jadi perekat dan legitimasi, sementara orientasinya hanya uang," tandasnya kemudian.

Sukanto bisa keluar dari NII tahun 2001 karena dikejar-kejar oleh aparat keamanan. Dia ketahuan mencuri uang temannya. Setelah berurusan dengan polisi, komunikasi dengan organisasi pun terputus. Ini menyebabkan dirinya lebih banyak bersama keluarga dan pulih.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Jokowi Teken Perpres, Wajibkan Pemda Bentuk Unit Perlindungan Perempuan dan Anak

    Jokowi Teken Perpres, Wajibkan Pemda Bentuk Unit Perlindungan Perempuan dan Anak

    Nasional
    Politikus PPP Sebut Ada Kemungkinan Parpolnya Gabung Koalisi Prabowo-Gibran

    Politikus PPP Sebut Ada Kemungkinan Parpolnya Gabung Koalisi Prabowo-Gibran

    Nasional
    Ini Status Perkawinan Prabowo dan Titiek Soeharto

    Ini Status Perkawinan Prabowo dan Titiek Soeharto

    Nasional
    Bersikukuh Rampas Aset Rafael Alun, Jaksa KPK Ajukan Kasasi ke Mahkamah Agung

    Bersikukuh Rampas Aset Rafael Alun, Jaksa KPK Ajukan Kasasi ke Mahkamah Agung

    Nasional
    Pengamat Sebut Kemungkinan Prabowo Gandeng PDI-P Masih Terbuka, Ganjalannya Hanya Jokowi

    Pengamat Sebut Kemungkinan Prabowo Gandeng PDI-P Masih Terbuka, Ganjalannya Hanya Jokowi

    Nasional
    Obituari Tumbu Saraswati, Politikus Senior PDI-P Sekaligus Pendiri TPDI

    Obituari Tumbu Saraswati, Politikus Senior PDI-P Sekaligus Pendiri TPDI

    Nasional
    Wakil Ketua KPK Bantah Serang Balik Dewas dengan Laporkan Albertina Ho

    Wakil Ketua KPK Bantah Serang Balik Dewas dengan Laporkan Albertina Ho

    Nasional
    Nurul Ghufron Gugat Dewas KPK ke PTUN Jakarta

    Nurul Ghufron Gugat Dewas KPK ke PTUN Jakarta

    Nasional
    JK Puji Prabowo Mau Rangkul Banyak Pihak, tapi Ingatkan Harus Ada Oposisi

    JK Puji Prabowo Mau Rangkul Banyak Pihak, tapi Ingatkan Harus Ada Oposisi

    Nasional
    Mantan Anak Buah SYL Mengaku Dipecat Lantaran Tolak Bayar Kartu Kredit Pakai Dana Kementan

    Mantan Anak Buah SYL Mengaku Dipecat Lantaran Tolak Bayar Kartu Kredit Pakai Dana Kementan

    Nasional
    Beri Selamat ke Prabowo-Gibran, JK: Kita Terima Kenyataan yang Ada

    Beri Selamat ke Prabowo-Gibran, JK: Kita Terima Kenyataan yang Ada

    Nasional
    DPR Bakal Kaji Ulang Desain Pemilu Serentak karena Dianggap Tak Efisien

    DPR Bakal Kaji Ulang Desain Pemilu Serentak karena Dianggap Tak Efisien

    Nasional
    Komisi II Sebut 'Presidential Threshold' Jadi Target Rencana Revisi UU Pemilu

    Komisi II Sebut "Presidential Threshold" Jadi Target Rencana Revisi UU Pemilu

    Nasional
    Nyanyi 'Pertemuan' di Depan Titiek Soeharto, Prabowo: Sudah Presiden Terpilih, Harus Tepuk Tangan walau Suara Jelek

    Nyanyi "Pertemuan" di Depan Titiek Soeharto, Prabowo: Sudah Presiden Terpilih, Harus Tepuk Tangan walau Suara Jelek

    Nasional
    Fraksi Golkar Bakal Dalami Usulan Hakim MK soal RUU Pemilu dan Pembentukan UU Lembaga Kepresidenan

    Fraksi Golkar Bakal Dalami Usulan Hakim MK soal RUU Pemilu dan Pembentukan UU Lembaga Kepresidenan

    Nasional
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com