Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

RUU Intelijen Berpotensi Melahirkan Rezim Represif

Kompas.com - 18/04/2011, 03:48 WIB

Jakarta, Kompas - Rancangan Undang-Undang Intelijen berpotensi melahirkan rezim represif seperti pada zaman Orde Baru. Harits Abu Ulya, anggota Dewan Pimpinan Pusat Hizbut Tahrir Indonesia, dalam diskusi yang diadakan Hizbut Tahrir Indonesia di Jakarta, Minggu (17/4), menyatakan, masih terdapat kelemahan dan kecurigaan terhadap masyarakat Muslim dalam RUU Intelijen.

”Ini bisa menciptakan kesewenang-wenangan terhadap rakyat. Seharusnya intelijen mengawasi musuh dari luar yang mengancam dakwah dan khilafah. Jangan sampai pengawasan justru memata-matai warga negara. Siapa sebetulnya yang menjadi ancaman?” ujar Abu Ulya.

Juru bicara Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Muhammad Ismail Yusanto, menjelaskan, sejumlah pasal dalam RUU Intelijen dinilai bermasalah, seperti pengertian ancaman nasional dan keamanan nasional. Selain itu, kewenangan intersepsi (penyadapan) dan aliran dana terkait dugaan terorisme, separatisme, spionase, subversi, serta sabotase bisa menjadi pintu penyalahgunaan kekuasaan.

Dalam RUU diusulkan pemberian wewenang kepada Badan Intelijen Negara (BIN) untuk menangkap dan melakukan interogasi paling lama 7 x 24 jam. ”Usul itu sama saja memberi wewenang intel untuk bertindak tanpa kontrol dan akan melahirkan kembali rezim represif. Dalam RUU Intelijen juga tidak ada mekanisme pengaduan dan gugatan bagi individu yang merasa dilanggar haknya oleh lembaga intelijen,” ujar Ismail.

Anggota Komisi I DPR Helmy Fauzy yang turut berbicara dalam diskusi itu mengatakan, membangun intelijen yang kuat tidak boleh bertentangan dengan demokrasi dan hukum. ”Kita sudah menolak adanya penahanan 7 x 24 jam yang memungkinkan seseorang diisolasi dan tidak bisa berhubungan dengan kerabat serta mendapat pendampingan hukum. Tidak boleh ada tindakan sewenang-wenang dalam menjalankan fungsi intelijen,” ujar Helmy, politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan.

Direktur Program Imparsial Al Araf menambahkan, masih ada 25 pasal RUU Intelijen yang dinilai bermasalah. ”Dengan ramainya pembahasan RUU Intelijen di pelbagai tempat, pemerintah dan parlemen diharap bertindak bijak dan tepat dengan tidak terburu-buru mengesahkan RUU Intelijen. Pemerintah dan parlemen harus sebanyak mungkin menampung masukan dari masyarakat,” ujar Al Araf.

Terhadap keinginan memasukkan pasal kewenangan penangkapan serta mekanisme penyadapan tanpa batas adalah keinginan khas negara kekuasaan (machstaat) dan bukan merupakan ciri negara hukum (rechtstaat).

Beberapa waktu lalu, dalam Rapat Dengar Pendapat BIN dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme dengan Komisi I DPR, Kepala BIN Sutanto menyatakan, diperlukan UU lebih tegas dalam penanggulangan terorisme. Dalam pencegahan terorisme yang dilakukan intelijen diperlukan wewenang, seperti menahan dan menginterogasi 7 x 24 jam. ”Teror itu jaringan,” kata Sutanto. (ONG)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com