Samuel Oktora dan Herpin Dewanto
Matahari hampir tenggelam, sekitar pukul 17.00 Wita, Selasa (5/4), ketika sekumpulan anak-anak, laki-laki dan perempuan, berdiri di pinggir jalan negara sambil menunggui jeriken milik mereka yang telah penuh air. Mereka baru saja mengambil air di Kali Wae Laku.
Setelah jeriken-jeriken penuh, mereka menanti truk-truk proyek yang akan pulang. Anak-anak itu berharap dapat menumpang menuju Sok, kampung mereka yang berjarak 2 kilometer di Desa
Apabila tidak mendapat tumpangan, mereka terpaksa menjinjing jeriken-jeriken itu dengan berjalan kaki. Satu anak bisa membawa lebih dari lima jeriken ukuran 5 liter. Mereka pun saling membantu mengangkat jeriken yang sudah terisi air.
Salah seorang dari mereka, Paul Linus Edon (16), mengaku sudah biasa mengambil air
Kondisi warga di Manggarai Timur secara umum memang sangat kesulitan air. Bahkan, di Borong, ibu kota kabupaten itu, air sulit didapat. Situasi itu malah begitu terasa dalam empat tahun terakhir yang notabene waktu itu (tahun 2007) jadi momentum penting pemekaran Manggarai Timur dari Manggarai selaku kabupaten induk.
Ini memang ironis karena
Di pinggiran Kali Wae Bobo, yang mengalir di pusat kota Borong, keadaannya ternyata sama. Warga tumpah ruah di sana pada pagi dan sore hari untuk mandi, mencuci, dan mengambil air.
”Saat hujan masih turun saja situasinya demikian. Apalagi kalau kemarau,” kata Ny Handika di Kali Wae Bobo.
Pemandangan lain, masih di Kali Wae Laku, masyarakat juga memanfaatkan air kali itu untuk mencuci kendaraan mereka, mulai dari sepeda motor, mobil, hingga truk. Itu yang menyebabkan Robertus, yang tinggal di Toka, Borong, enggan bertandang ke rumah tetangga karena takut dapat suguhan air kotor bekas cucian kendaraan.