Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hanya Atur BIN, Subyek Masalah Tambah Tak Jelas

Kompas.com - 07/04/2011, 03:01 WIB

Jakarta, Kompas - Rancangan Undang-Undang Intelijen hanya mengatur Badan Intelijen Negara. Hal itulah yang menambah kurang jelasnya pembagian subyek yang diatur dalam RUU tersebut sehingga menimbulkan berbagai turunan masalah, seperti penangkapan, pengawasan, dan penyadapan.

Hal itu muncul dalam diskusi yang diadakan di Megawati Institute, Rabu (6/4). Salah seorang pembicara, Tb Hasanuddin dari Komisi I DPR, mengatakan, prinsip dasarnya, intelijen harus diatur agar tetap berada di dalam koridor demokrasi. Ada tiga hal yang masih menjadi masalah dalam RUU Intelijen serta tanggapan pemerintah. Ketiga masalah itu adalah kewenangan menangkap, mekanisme pengawasan, dan kewenangan menyadap. ”Intelijen yang dimaksudkan di RUU ini adalah BIN (Badan Intelijen Negara),” katanya.

Usman Hamid dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menyebutkan, RUU Intelijen ini banyak salah kaprah karena tidak memiliki diskursus yang jelas. Diskursus antara keamanan negara dan demokrasi dicampurbaurkan begitu saja. Padahal, seharusnya dibedakan antara intelijen dalam negeri, intelijen luar negeri, intelijen tempur, dan intelijen yustisia. ”Nanti standar prosedur yang seharusnya diterapkan untuk luar negeri jadi diterapkan untuk dalam negeri, seakan negara memata-matai warganya. Sepertinya kita, masyarakat, yang jadi musuh negara,” kata Usman.

Ketidakjelasan batas antara intelijen untuk dalam negeri dan luar negeri juga diperparah dengan tidak adanya definisi tentang ancaman negara. Ini bisa terjadi bias sehingga intelijen digunakan penguasa untuk melawan lawan politiknya. ”Justru kasus yang marak sekarang seperti aktivitas kekerasan untuk perubahan sosial dan konflik horizontal tidak masuk,” katanya.

Ia juga menyoroti, akan sangat kurang kalau RUU Intelijen ini hanya untuk mengatur BIN, padahal banyak lembaga intelijen lain seperti yang ada di kementerian, TNI, kejaksaan, dan Polri.

Berkaitan dengan penangkapan, Tb Hasanuddin menyatakan, wewenang intelijen itu jelas melanggar KUHP sehingga tidak bisa diterima. Jalan tengahnya, intelijen harus bekerja sama dengan polisi. Tentang pengawasan, harus ada pengawas, misalnya, di Komisi I atau Panitia Kerja di Komisi I. Mengenai penyadapan, kata Hasanuddin, masih bisa diperdebatkan karena bisa dilakukan dengan izin pengadilan.

Direktur Analisis Strategis Kementerian Pertahanan Paryanto mengatakan, penahanan untuk mendapatkan informasi mutlak diperlukan. Ia optimistis, dengan budaya demokrasi yang sudah ada saat ini, intelijen tidak akan bertindak sewenang-wenang seperti di era 1980-1990. Ia menggarisbawahi, intelijen memang harus diatur agar tidak digunakan kekuasaan. ”Bagaimana agar intel bisa kerja maksimal, tetapi tidak langgar hukum,” katanya.

Pembicara lain, Jaleswari Pramodhawardani, memaparkan, betapa kompleks masalah keamanan dan pertahanan nasional, termasuk kejahatan siber dan kejahatan nontradisional lainnya. Ia juga menyampaikan masukan dari berbagai pihak yang berkecimpung dalam intelijen agar UU Intelijen yang nanti dibuat tidak hanya muncul sebagai wacana ideal yang tidak bisa diaplikasikan di lapangan. (EDN)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com