Jakarta, Kompas
Hal ini menjadi rekomendasi yang diajukan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Selasa (5/4). RUU itu seharusnya tidak hanya diuji di DPR, tetapi dibawa ke lokasi-lokasi operasi intelijen.
Koordinator Kontras Haris Azhar menyebutkan, saratnya keterlibatan intelijen tidak hanya memberikan kekuasaan tak terbatas kepada Orde Baru. Kekuatan intelijen itu masih terasa sampai saat ini, terbukti dengan sulitnya lembaga negara independen seperti Komnas HAM mengakses dokumen intelijen yang mengakibatkan pelanggaran HAM.
Kasus-kasus seperti Tanjung Priok 1984, Talangsari 1989, penembakan misterius (petrus),
Idealnya badan intelijen negara tak memiliki kewenangan penyelidikan dan penyidikan. Kontras juga memberi catatan agar diakomodasi mekanisme koreksi apabila operasi intelijen melanggar HAM. Negara wajib memberi kepastian hukum atas kasus pelanggaran HAM masa lalu yang melibatkan institusi intelijen dengan membawa pelaku ke pengadilan HAM ad hoc.
Sebelumnya, dalam rapat dengar pendapat Badan Intelijen Negara (BIN) dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dengan Komisi I DPR, Kepala BIN Sutanto menyatakan, diperlukan undang-undang lebih tegas dalam penanggulangan terorisme. Dalam pencegahan terorisme yang dilakukan intelijen, diperlukan wewenang seperti menahan dan menginterogasi orang selama 7 x 24 jam. ”Teror itu jaringan, enggak bisa sepotong-sepotong, pasti bocor,” kata Sutanto.
Anggota Komisi I, Tjahjo Kumolo, melihat penting penstrukturan intelijen yang lebih baik. ”Mestinya remote control-nya satu, langsung tanggung jawab ke Presiden,” katanya.