Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Anomali RUU Tipikor

Kompas.com - 30/03/2011, 03:14 WIB

Oleh Donal Fariz

Bukannya memperkuat agenda pemberantasan korupsi, Rancangan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang digodok pemerintah saat ini justru berpotensi menghentikan denyut nadi pemberantasan korupsi itu sendiri.

Di tengah langkah gontai pemberantasan korupsi di negeri ini, pemerintah kembali menginisiasi pengubahan atau revisi UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Ini bukan cerita baru karena sesungguhnya rencana revisi itu sudah pernah dilakukan pada Februari 2007.

Perubahan itu dilakukan atas dasar diadopsinya Konvensi PBB Melawan Korupsi (2003). Tujuannya, agar terjadi harmonisasi hukum positif di Indonesia dengan instrumen hukum internasional yang saat ini berlaku. Pada ketentuan-ketentuan di dalamnya, UU Pemberantasan Tipikor yang saat ini berlaku belum mengatur setidaknya empat norma utama: konflik kepentingan, kriminalisasi harta benda yang diperoleh dari penghasilan yang tidak pantas dan tidak sah, korupsi sektor swasta, serta perdagangan pengaruh.

Publik menjadi khawatir dan bertanya-tanya. Apakah rencana revisi ini benar-benar ditujukan bagi harmonisasi sembari memperkuat agenda pemberantasan korupsi itu sendiri atau sebaliknya? Pertanyaan ini beralasan mengingat revisi dilakukan ketika pemerintah sedang didera krisis kepercayaan publik akibat tidak tuntasnya berbagai persoalan korupsi kelas kakap hingga saat ini.

Langkah mundur

Sulit dibantah bahwa bila diteropong dari aspek substansi, rencana revisi RUU Pemberantasan Tipikor yang sedang disiapkan pemerintah saat ini adalah sebuah langkah mundur terhadap upaya memberangus korupsi di republik ini. Bukan hanya karena RUU itu tidak mampu merumuskan empat norma tadi secara baik, melainkan ada setidaknya sembilan titik kelemahan dalam RUU tersebut, seperti yang dilihat Indonesia Corruption Watch.

Singkat kata, UU Pemberantasan Tipikor yang berlaku saat ini—UU Nomor 31 Tahun 1999 juncto UU Nomor 20 Tahun 2001—sesungguhnya masih lebih baik dibandingkan dengan RUU yang tengah disiapkan pemerintah.

RUU ini membangun logika terbalik: korupsi tak lagi dipandang sebagai sebuah kejahatan luar biasa sehingga tak lagi perlu sanksi luar biasa terhadap pelaku kejahatan itu. Ini terlihat jelas dari begitu banyaknya ketentuan dalam RUU yang menurunkan ancaman hukuman minimal dan maksimal pelaku korupsi serta ancaman denda. Sanksi untuk para mafia hukum yang memberikan suap kepada penegak hukum yang ada saat ini, misalnya, minimal empat tahun dan maksimal 20 tahun penjara. Namun, dalam RUU itu, sanksi tersebut justru diturunkan jadi minimal satu tahun dan maksimal tujuh tahun.

Bahkan, jika ditelusuri lebih jauh, setidaknya ada tujuh pasal dalam RUU ini yang tidak mencantumkan ancaman hukuman minimal bagi penggelapan dana bencana alam, pengadaan barang dan jasa tanpa tender, konflik kepentingan, pemberian gratifikasi, dan pelaporan yang tidak benar tentang harta kekayaan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com