Oleh
Di tengah langkah gontai pemberantasan korupsi di negeri ini, pemerintah kembali menginisiasi pengubahan atau revisi UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Ini bukan cerita baru karena sesungguhnya rencana revisi itu sudah pernah dilakukan pada Februari 2007.
Perubahan itu dilakukan atas dasar diadopsinya Konvensi PBB Melawan Korupsi (2003). Tujuannya, agar terjadi harmonisasi hukum positif di Indonesia dengan instrumen hukum internasional yang saat ini berlaku. Pada ketentuan-ketentuan di dalamnya, UU Pemberantasan Tipikor yang saat ini berlaku belum mengatur setidaknya empat norma utama: konflik kepentingan, kriminalisasi harta benda yang diperoleh dari penghasilan yang tidak pantas dan tidak sah, korupsi sektor swasta, serta perdagangan pengaruh.
Publik menjadi khawatir dan bertanya-tanya. Apakah rencana revisi ini benar-benar ditujukan bagi harmonisasi sembari memperkuat agenda pemberantasan korupsi itu sendiri atau sebaliknya? Pertanyaan ini beralasan mengingat revisi dilakukan ketika pemerintah sedang didera krisis kepercayaan publik akibat tidak tuntasnya berbagai persoalan korupsi kelas kakap hingga saat ini.
Sulit dibantah bahwa bila diteropong dari aspek substansi, rencana revisi RUU Pemberantasan Tipikor yang sedang
Singkat kata, UU Pemberantasan Tipikor yang berlaku saat ini—UU Nomor 31 Tahun 1999 juncto UU Nomor 20 Tahun 2001—sesungguhnya masih lebih baik dibandingkan dengan RUU yang tengah disiapkan pemerintah.
RUU ini membangun logika terbalik: korupsi tak lagi dipandang sebagai sebuah kejahatan luar biasa sehingga tak lagi perlu sanksi luar biasa terhadap pelaku
Bahkan, jika ditelusuri lebih jauh, setidaknya ada tujuh pasal dalam RUU ini yang tidak mencantumkan ancaman hukuman minimal bagi penggelapan dana bencana alam, pengadaan barang dan jasa tanpa tender, konflik kepentingan, pemberian gratifikasi, dan pelaporan yang tidak benar tentang harta kekayaan.