Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Belajar dari Fukushima

Kompas.com - 25/03/2011, 03:09 WIB

Direktur Institute for Essential Services Reform Fabby Tumiwa menegaskan, memasukkan nuklir sebagai energi baru berkonsekuensi otomatis pemerintah punya tambahan sumber pengeluaran. ”Energi baru dan terbarukan selalu butuh insentif pengembangannya. Ini belum memasukkan pertimbangan strategis geopolitik,” ujar Tumiwa.

Lambatnya perkembangan energi terbarukan disebabkan ketidakseriusan pemerintah memberi insentif pengembangan pada riset, teknologi, dan penciptaan pasar. Padahal, diversifikasi energi sudah dicanangkan sejak 1980-an.

Tumiwa mencontohkan, India butuh 15 tahun mengembangkan pembangkit listrik tenaga angin. Jepang butuh 70 tahun untuk menyempurnakan teknologi tenaga surya. Di Indonesia, pengembangan listrik panas bumi baru didorong tahun 2007 setelah undang-undang pengembangan panas bumi. Pengembangannya terkendala belum disepakatinya harga beli listrik.

Rinaldy sependapat. Ia mencontohkan, target pengembangan energi surya dalam KEN menjadi hanya 10 persen dari potensi, tenaga air 50 persen, dan panas bumi 60 persen.

Anggapan listrik tenaga nuklir murah juga tidak tepat. Herman Darnel Ibrahim, anggota DEN yang mantan Direktur Transmisi PLN, mengemukakan, biaya membangun PLTN 4 juta-5 juta dollar AS per MW.

Perkembangan di Jepang mendorong biaya bakal semakin mahal karena membesarnya tuntutan keselamatan reaktor. Ini belum lagi ketergantungan pada negara lain dalam penyediaan bahan bakar (uranium), teknologi dan sumber daya manusia, serta posisi geografis Indonesia yang rawan gempa. (har/dot)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com