Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

WikiLeaks Sebaiknya Ditanggapi Bijaksana

Kompas.com - 23/03/2011, 16:24 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com — Pengamat komunikasi politik, Effendi Ghazali, mengatakan, informasi bocoran WikiLeaks hendaknya ditanggapi dengan bijaksana. Jangan cepat dipercaya, jangan cepat pula disalahkan. Menurutnya, setiap warga dunia seharusnya memiliki pemahaman bahwa intelijen di semua negara membangun informasi berikut analisis-analisisnya. Bisa tepat, bisa juga kurang tepat.

"Kita belum punya bukti kan kalau WikiLeaks itu salah atau tidak. Lagi pula, WikiLeaks itu belum pernah terbukti benar di Indonesia, tapi di dunia belum terbukti salah juga," tegasnya di Gedung DPR RI, Rabu (23/3/2011).

Oleh karena itu, Effendy mengatakan, pemberitaan WikiLeaks tak perlu ditanggapi secara berlebihan, apalagi sampai dikatakan sampah. Pejabat publik Indonesia seharusnya bisa mencontoh pejabat publik di Amerika Serikat yang tak langsung "panas" atau reaktif dalam menanggapi suatu pemberitaan jika dugaan yang dimuat memang tidak dilakukan oleh pejabat tersebut.

Menurut Effendy, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Ibu Ani Yudhoyono, mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla, dan Ketua MPR Taufiq Kiemas dapat menggunakan hak jawab atas pemberitaan harian The Age dan The Sydney Morning Herald jika dirasa merugikan secara personal.

"Kalau ada hak jawab, ya pakai. Yang menakutkan kalau tiba-tiba ada rangkaian bom buku yang muncul," tandasnya.

Seperti diketahui, harian Australia, The Age, pada Jumat (11/3/2011) memuat berita utama tentang penyalahgunaan kekuasaan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Laporan harian itu berdasarkan kawat-kawat diplomatik rahasia Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta yang bocor ke situs WikiLeaks.

Kawat-kawat diplomatik tersebut, yang diberikan WikiLeaks khusus untuk The Age, mengatakan, Yudhoyono secara pribadi telah campur tangan untuk memengaruhi jaksa dan hakim demi melindungi tokoh-tokoh politik korup dan menekan musuh-musuhnya serta menggunakan badan intelijen negara demi memata-matai saingan politik dan setidaknya seorang menteri senior dalam pemerintahannya sendiri.

Laporan-laporan diplomatik AS tersebut mengatakan, segera setelah menjadi presiden pada tahun 2004, Yudhoyono mengintervensi kasus Taufiq Kiemas, suami mantan Presiden Megawati Soekarnoputri. Yudhoyono dilaporkan telah meminta Hendarman Supandji, waktu itu Jaksa Agung Tindak Pidana Khusus, menghentikan upaya penuntutan terhadap Taufiq Kiemas untuk apa yang para diplomat AS gambarkan sebagai "korupsi selama masa jabatan istrinya".

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Soal Gugatan PDI-P ke PTUN, Pakar Angkat Contoh Kasus Mulan Jameela

    Soal Gugatan PDI-P ke PTUN, Pakar Angkat Contoh Kasus Mulan Jameela

    Nasional
    Prabowo: Kami Akan Komunikasi dengan Semua Unsur untuk Bangun Koalisi Kuat

    Prabowo: Kami Akan Komunikasi dengan Semua Unsur untuk Bangun Koalisi Kuat

    Nasional
    PDI-P Minta Penetapan Prabowo-Gibran Ditunda, KPU: Pasca-MK Tak Ada Pengadilan Lagi

    PDI-P Minta Penetapan Prabowo-Gibran Ditunda, KPU: Pasca-MK Tak Ada Pengadilan Lagi

    Nasional
    Sedang di Yogyakarta, Ganjar Belum Terima Undangan Penetapan Prabowo-Gibran dari KPU

    Sedang di Yogyakarta, Ganjar Belum Terima Undangan Penetapan Prabowo-Gibran dari KPU

    Nasional
    Pakar Nilai Gugatan PDI-P ke PTUN Sulit Dikabulkan, Ini Alasannya

    Pakar Nilai Gugatan PDI-P ke PTUN Sulit Dikabulkan, Ini Alasannya

    Nasional
    Airlangga Klaim Pasar Respons Positif Putusan MK, Investor Dapat Kepastian

    Airlangga Klaim Pasar Respons Positif Putusan MK, Investor Dapat Kepastian

    Nasional
    PDI-P Sebut Proses di PTUN Berjalan, Airlangga Ingatkan Putusan MK Final dan Mengikat

    PDI-P Sebut Proses di PTUN Berjalan, Airlangga Ingatkan Putusan MK Final dan Mengikat

    Nasional
    Golkar Belum Mau Bahas Jatah Menteri, Airlangga: Tunggu Penetapan KPU

    Golkar Belum Mau Bahas Jatah Menteri, Airlangga: Tunggu Penetapan KPU

    Nasional
    Prabowo: Kami Berhasil di MK, Sekarang Saatnya Kita Bersatu Kembali

    Prabowo: Kami Berhasil di MK, Sekarang Saatnya Kita Bersatu Kembali

    Nasional
    Kepala BNPT: Waspada Perkembangan Ideologi di Bawah Permukaan

    Kepala BNPT: Waspada Perkembangan Ideologi di Bawah Permukaan

    Nasional
    KPK Dalami 2 LHKPN yang Laporkan Kepemilikan Aset Kripto, Nilainya Miliaran Rupiah

    KPK Dalami 2 LHKPN yang Laporkan Kepemilikan Aset Kripto, Nilainya Miliaran Rupiah

    Nasional
    Pertamina dan Polri Jalin Kerja Sama dalam Publikasi untuk Edukasi Masyarakat

    Pertamina dan Polri Jalin Kerja Sama dalam Publikasi untuk Edukasi Masyarakat

    Nasional
    Satkar Ulama Dukung Airlangga Jadi Ketum Golkar Lagi, Doakan Menang Aklamasi

    Satkar Ulama Dukung Airlangga Jadi Ketum Golkar Lagi, Doakan Menang Aklamasi

    Nasional
    Gibran Temui Prabowo di Kertanegara Jelang Penetapan Presiden-Wapres Terpilih

    Gibran Temui Prabowo di Kertanegara Jelang Penetapan Presiden-Wapres Terpilih

    Nasional
    KPU Batasi 600 Pemilih Tiap TPS untuk Pilkada 2024

    KPU Batasi 600 Pemilih Tiap TPS untuk Pilkada 2024

    Nasional
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com