Jakarta, Kompas -
Wakil Ketua Komisi I DPR TB Hasanuddin pada Senin (21/3) di Jakarta mengatakan, kekhawatiran masyarakat sipil terkait kewenangan aparat intelijen yang bisa mengancam hak-hak sipil sebenarnya telah direspons dengan baik. Salah satunya, menurut Hasanuddin, adalah ketegasan DPR untuk tidak memberikan wewenang menangkap orang kepada aparat intelijen.
Menurut Hasanuddin, pengawasan terhadap penyalahgunaan kewenangan penyadapan intelijen juga bukan perkara sulit. ”Alat kontrolnya, kan, ada. Semua harus bisa dicek dan dianalisis. Berapa lama, misalnya, penyadapan dilakukan dan terhadap siapa,” katanya.
Dia mengungkapkan, DPR saat ini tengah menggodok tim kecil yang nantinya mengawasi kinerja aparat intelijen negara. Pengawasan ini, menurut Hasanuddin, akan membuat keterlibatan publik dalam memantau lembaga-lembaga negara yang memiliki kewenangan intelijen. ”Selama ini, kan, intelijen memang daerah yang remang-remang. Mereka biasanya butuh dana sekian miliar rupiah untuk penggalangan, tetapi tidak pernah bisa dicek apakah betul itu untuk penggalangan. Sekarang tidak bisa seperti itu. Dana penggalangan tersebut harus benar-benar bisa dicek, apakah digunakan untuk penggalangan atau kegiatan lain,” ujarnya.
Menurut Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), sebenarnya RUU Intelijen bagian dari reformasi sektor keamanan yang tak kunjung memiliki kemajuan. ”Perdebatan RUU intelijen menjadi bergulir tidak menentu. DPR bikin versi drafnya, pemerintah bikin, dan masyarakat sipil juga bikin. Tidak ada konsolidasi di sana,” kata Haris.
Sementara ketika dihubungi di Jakarta kemarin, Direktur Program Imparsial Al Araf mengatakan, Pasal 24 dan Pasal 39 RUU Intelijen mengandung multitafsir yang dapat mengganggu pers mendapatkan kebebasan informasi.
Al Araf mempertanyakan apa yang dimaksud dengan dokumen intelijen berkaitan dengan penyelenggaraan keamanan nasional. Dalam penjelasan RUU tidak diterangkan lebih lanjut tentang hal itu. ”Kondisi ini membuka ruang tafsir yang luas bagi penguasa bahwa seluruh dokumen bersifat rahasia. Padahal, ada dokumen yang seharusnya tak rahasia, yakni dokumen anggaran untuk intelijen yang dilaporkan ke parlemen setiap tahun tentu bukan hal yang rahasia,” ujar Al Araf.