Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Konstelasi Baru di Timur Tengah

Kompas.com - 18/03/2011, 03:05 WIB

Ibnu Burdah

Tumbangnya kekuasaan Bin Ali di Tunisia, Mubarak di Mesir, dan kemungkinan sebentar lagi Khadafy di Libya serta masih terus berkobarnya gerakan protes rakyat di negara-negara Timur Tengah lain membawa perubahan cukup penting dalam konstelasi kekuatan di kawasan itu.

Aktor-aktor lama memang masih memainkan peran signifikan, tetapi tidak lagi sekuat dahulu. Isu dan tantangan yang dihadapi sudah berbeda.

Secara umum Timur Tengah masih diwarnai rivalitas Amerika Serikat, beberapa negara Eropa, negara-negara Arab pro-Barat, dan Israel di satu sisi serta Iran, gerakan Islam di banyak negara Arab, serta secara terbatas Suriah dan Qatar di sisi lain.

Rebutan pengaruh

Isunya sekarang beralih ke perebutan pengaruh terhadap gerakan rakyat untuk perubahan yang memang tengah melanda Arab. Dalam konteks itu, retorika Iran dan AS memiliki kesamaan: mendukung perubahan dan mendorong kedaulatan kembali kepada rakyat untuk menentukan nasib dan masa depannya sendiri. AS memilih konsep demokratisasi. Iran memilih kata ”kesadaran islami”.

Meski demikian, kedua aktor itu sesungguhnya sedang berebut secara keras mendorong perubahan ke arah berlawanan. Iran menginginkan lahirnya negara-negara Arab ”baru” yang sehaluan dengannya: setidaknya menjauh dari dekapan AS. Sebaliknya, AS berupaya mendorong negara-negara Arab baru hasil ”revolusi” masuk ke dalam orbit pengaruhnya atau menjauh dari Iran.

Kasus Tunisia, Mesir, dan Libya memperlihatkan secara jelas pola itu. Perebutan itu tak hanya melibatkan kekuatan diplomasi dan perang media, tetapi juga unjuk kekuatan di perairan Laut Merah dan Laut Tengah.

Di tengah rivalitas itu, kini Mesir, Arab Saudi, dan beberapa negara Arab yang dikenal masuk poros Barat tak lagi memandang Iran sebagai sumber ancaman langsung. Perhatian mereka—terutama Arab Saudi, Yaman, dan Bahrain—terfokus pada gerakan rakyat yang telah pecah, sementara negara lain tertuju pada bibit-bibit gerakan rakyat yang mungkin segera pecah.

Kendati demikian, Iran tetap jadi perhatian penting mengingat pengaruhnya yang besar terhadap kelompok-kelompok oposisi yang turut menggalang berbagai gerakan rakyat di kawasan ini. Sebutlah minoritas Syiah di Saudi Timur, mayoritas Syiah di Bahrain, dan ”pemberontak” Al-Houtsi di Yaman Selatan.

Iran bahkan kian agresif mendorong perubahan di negara-negara Arab. Pekik gembira Iran menyertai jatuhnya rezim Mubarak dan Bin Ali. Pekik perjuangan secara berlebihan menyertai pecahnya gerakan protes di Bahrain dan Arab Saudi. Pernyataan diplomatik dan propaganda media Iran mendukung semua itu secara ekstrem. Namun, hal itu tak berlaku bagi negara-negara Arab yang selama ini jadi sekutu Iran, terutama Suriah dan Qatar.

Rakyat dan media

Dua kekuatan ”baru” di Timur Tengah sekarang adalah rakyat dan media. Keduanya kini telah menjelma menjadi kekuatan yang paling menentukan arah dan perkembangan negara-negara di kawasan. Gelombang ”revolusi” yang sedang melanda jelas merupakan dampaknya.

Namun, media dan rakyat tak sepenuhnya merupakan satu kesatuan yang utuh. Media seperti internet dan Twitter jelas terdifusi ke banyak orang dan kelompok. Pendukung perubahan dapat menggunakannya sebagai sarana perjuangan yang efektif, tetapi para penolak perubahan juga dapat menggunakannya untuk hal sebaliknya.

Televisi yang amat penting juga terbelah. Al-Jazeera, baik versi Arab maupun Inggris, di Doha, Qatar, merupakan salah satu pilar penting perubahan di dunia Arab sekarang meski belum jelas sikapnya ihwal kemungkinan pecahnya gerakan protes di Qatar sendiri. Meski dipandang cukup independen, kelahiran dan posisi televisi ini tak lepas dari penguasa Qatar.

Al-Alam dengan versi Inggris Press TV di Teheran, Iran, jelas sekali merepresentasikan sikap dan pandangan Pemerintah Iran. Sementara itu, Al Arabiya ”milik” Pemerintah Arab Saudi jelas menyuarakan sikap yang sering berlawanan dengan Pemerintah Iran dan merepresentasikan sikap Pemerintah Saudi.

Rakyat di negara-negara Arab juga tidak satu suara. Namun, arus terbesar sekarang amat jelas: menginginkan perubahan terhadap rezim dan sistem politik secara fundamental dan menyeluruh. Aspirasi kuat ini pula yang tampaknya tidak bisa ditolak sekalipun oleh media yang tidak pro-perubahan. Pendukung penguasa despotis di beberapa negara Arab hanya berasal dari keterikatan kabilah dan kepentingan uang jangka pendek.

Warna sejarah baru di Timur Tengah amat dipengaruhi oleh aktor-aktor di atas dan konstelasinya di kawasan ini.

Ibnu Burdah Pemerhati Persoalan Timur Tengah dan Dunia Islam UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com