Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dampak Sosial Ledakan Penduduk di Sumba

Kompas.com - 03/03/2011, 22:47 WIB

KOMPAS.com - Peningkatan jumlah penduduk Sumba Barat Daya dari 195.000 pada tahun 2000 menjadi 287.666 jiwa pada tahun 2010 mengagetkan pemerintah daerah setempat. Faktor kawin usia muda sebagai salah satu penyebab, selain faktor lain.

Sayangnya, jumlah penduduk yang tinggi, tidak diimbangi peningkatan lapangan kerja, kualitas pendidikan yang rendah, dan hasil pertanian yang terus memburuk. Hal tersebut menimbulkan masalah sosial baru. Angka putus sekolah rata-rata setiap tahun 25.300 anak dari total siswa 78.936 siswa.

Kondisi ini membuat kualitas hidup warga Sumba Barat Daya (SBD) terus menurun. Angka kemiskinan di daerah ini mencapai 35.825 kepala keluarga (kk), atau sekitar 179.125 jiwa , dari total 287.666 jiwa. Pendapatan per kapita rata-rata Rp 197.150 per bulan, tingkat provinsi sebanyak Rp 167.920 per kapita per bulan.

Angka kriminalitas seperti pencurian pun terus meningkat dari tahun ke tahun, meski ada upaya mengatasi. Tahun 2008 angka kriminalitas yang berdasarkan data perkara di pengadilan Negeri Sumba Barat sebanyak 479 dan tahun 2010 menjadi 789 perkara. Dari jumlah ini 80 persen perkara pencurian.

Bupati Sumba Barat Daya, dr Kornelius Kodi Mete di Weetabula, Selasa (1/3/2011) lalu membenarkan kasus ini. Peningkatan jumlah penduduk di SBD paling tinggi di seluruh Nusa Tenggara Timur. Perkawinan usia muda, poligami serta semboyan banyak anak banyak rezeki sebagai pendorong.

Program keluarga berencana (KB) belum disosialisasikan secara maksimal di kalangan masyarakat bawa. Ada pemikiran negatif terhadap program ini sehingga sebagian pasangan usia subur menolak menggunakan alat-alat kontrasepsi seperti kondom, IUD, implant, dan lainnya.

Jumlah pasangan usia subur 37.927, ikut program KB hanya 11.699 pasangan, atau sekitar 26.228 pasangan tidak ikut KB.

Jahawalu (20) warga desa Kori Kecamatan Kodi Utara mengatakan, menikah pada usia 17 tahun (2008), sementara pasangannya saat it u berusia 15 tahun. Ia hanya mengenyam pendidikan sampai kelas dua SMP, sementara pasangannya kelas satu SMP. Kini mereka telah dianugerahi tiga orang putra.

Satu tahun kami lahirkan satu anak. Kami belum ikut program KB karena dilarang orangtua. Kata orangtua, anak banyak lebih baik. Sama dengan mereka memelihara ternak, makin banyak ternak di kandang status social makin tinggi, dan terpandang, kata Jahawalu sambil tertawa.

Jahawalu sendiri tidak pernah berniat mengikuti program KB. Pihak orangtua mengusulkan, kalau ia sudah memiliki 10 anak, orangtua akan mencarikan daun-daunan di hutan untuk mengatasi jarak kelahiran anak.

Kepala Urusan Pemerintahan Desa Matakapone Kecamatan Kodi Bangedo Robert Rihiwanda mengatakan, kelahiran tinggi karena sebagian besar keluarga menilai, banyak anak banyak rezeki. Mereka bahkan berlomba-lomba menciptakan anak.

"Kalau ada teman seusia yang sudah punya enam anak, dan tinggal bertetangga, dia juga berjuang supaya punyak anak lebih dari enam. Ini berlaku hampir di sel uruh warga Kodi. Mereka gengsi bila punya anak hanya 2-3 orang karena dianggap tidak jantan, dan secara social kurang dihargai," kata Rihiwanda.

Program KB dinilai secara negatif yakni upaya pemerintah menekan laju penduduk dari kelompok masyarakat tertentu. Program ini pun jarang diterima di kalangan pasangan usia subur. Pergaulan di kalangan remaja sangat bebas. Mereka tidak lagi memperhatikan nilai-nilai adat dan budaya setempat. Bahkan tatanan adat dinilai sebagai aturan yang sudah ketinggalan zaman.

Meski orangtua tidak mampu, tetapi para remaja ini memaksa memiliki telepon seluler. Telepon ini membuat kebanyakan remaja tidak lagi masuk sekolah dan menggunakan waktu belajar untuk jalan-jalan di pusat kota kabupaten.

"Mereka diajak teman menonton televisi, dan film porno sampai larut malam. Setelah puas di kota, mereka pulang ke rumah di kecamatan atau desa. Di sana, mereka tidak lagi mendengar perintah atau nasihat orangtua. Bahkan orangtua dianggap tidak tahu apa-apa soal perkembangan zaman sekarang," kata Rihiwanda.

Persoalan sumber daya orangtua yang rendah, buta huruf, tidak tahu tulis dan baca menjadi salah satu penyebab pergaulan bebas di kalangan remaja. Orangtua tidak mampu mengendalikan perilaku anak yang bejat karena selalu dibohongi anak-anak.

Anak-anak sekolah berangkat dari rumah dengan seragam sekolah, tetapi kemudian di jalan mereka diajak teman untuk pergi ke kota, atau menonton CD porno di rumah teman sambil meneguk minuman keras dan merokok.

Rihiwanda menjelaskan, orangtua justru senang bila anak-anak mulai memegang HP, bisa mengendarai sepeda motor, dan menceritakan sesuatu yang mencirikan kehidupan orang di kota. "Mereka bangga bila anak-anak berpenampilan moderen seperti kebanyakan remaja yang tampil di televisi. Mereka pun membiarkan anak berbuat apa saja, sesuai selera anak. Ini berdampak sangat buruk bagi kehidupan anak itu sendiri," kata Rihiwanda.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com