Di tengah gurita tersebut, pertanyaan mendasar yang muncul: mengapa praktik korupsi makin memburuk melilit negeri ini? Adakah ini semua bukti kegagalan agenda pemberantasan korupsi?
Dari segala perspektif, pertanyaan yang dikemukakan amat masuk akal. Apalagi, sebagai bagian dari upaya mewujudkan amanat reformasi, telah begitu banyak produk hukum dihadirkan untuk segera keluar dari kanker korupsi.
Sekiranya dikaitkan dengan pergeseran pemaknaan tindak pidana korupsi dari kejahatan biasa menjadi kejahatan luar biasa, pertanyaan tersebut berubah menjadi gugatan yang amat serius. Karena itu, wajar bila muncul pertanyaan baru: apa yang salah dengan agenda pemberantasan korupsi yang selama ini dilakukan?
Maraknya praktik korupsi tidak cukup hanya dijelaskan dari satu sudut pandang saja, misalnya pada batas-batas tertentu kehidupan politik lebih banyak menunjukkan diri sebagai ”panglima” dalam penegakan hukum. Karena itu, karut-marut dunia politik memberi imbas atas munculnya lorong gelap dalam pemberantasan korupsi, misalnya mereka yang terindikasi korupsi berupaya mencari perlindungan ke partai politik. Begitu mendapatkan tempat di partai politik, penegakan hukum terancam mengalami mati suri.
Secara ideal, bila para penegak hukum mampu membuktikan independensinya, ”strategi” bergabung ke partai politik tidak akan memberikan banyak pengaruh.
Dalam kenyataannya, jangankan untuk membuktikan independensi tersebut, institusi penegak hukum acap kali hadir sebagai pembina mereka yang terkait kasus korupsi. Pembinaan yang dimaksudkan di sini lebih pada upaya memanfaatkan mereka yang tersangkut kasus korupsi untuk kepentingan di luar penegakan hukum.
Terkait dengan hal itu, dalam Seminar Nasional Kompas yang bertajuk ”Korupsi yang Memiskinkan” (22-23 Februari) dikemukakan bahwa tumbuh suburnya praktik korupsi lebih banyak disebabkan oleh hukum dan penegak hukum yang amat ramah bagi pelaku korupsi. Keramahan tersebut, di antaranya, dipicu oleh substansi hukum yang longgar atau multiinterpretasi.