Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ahmadiyah, Sejak Datang Sudah Ditentang

Kompas.com - 15/02/2011, 05:32 WIB

Semula, mereka merencanakan untuk pergi ke Mesir, karena Mesir sudah lama terkenal sebagai pusat studi Islam. Tetapi para guru mereka di Sumatera Tawalib menyarankan mereka untuk pergi ke India, karena India mulai menjadi pusat pemikiran modernisasi Islam. Mereka berangkat secara terpisah, (alm) Abubakar Ayyub berangkat bersama dengan (alm) Ahmad Nuruddin, sedangkan (alm) Zaini Dahlan menyusul kemudian.

Ketiga pemuda itu berkumpul kembali di Lucknow, India. Tidak seorang pun dari ketiganya saat itu menyangka bahwa keberangkatan mereka akan menjadi satu peristiwa monumental terpenting dalam perkembangan Islam di Indonesia, khususnya bagi Ahmadiyah di Indonesia.

Ketiga pemuda Indonesia itu segera sampai di Lahore dan sangat terkesan pada ajaran Ahmadiyah yang banyak mengubah berbagai aspek keimanan dan pemahaman mereka akan Islam, meskipun saat itu mereka mendapatinya dari Anjuman Isyaati Islam atau dikenal dengan nama Ahmadiyah Lahore. Segera ketiga pemuda itu mendapati bahwa sumber dari Ahmadiyah adalah dari Qadian, dan sekalipun ditentang dan dilarang oleh Anjuman Isyaati Islam (Ahmadiyah Lahore), ketiga pemuda itu pergi ke Qadian, pusat Jemaat Ahmadiyah yang didirikan oleh Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad.

Ketiga pemuda Indonesia itu melanjutkan studi mereka di Madrasah Ahmadiyah. Tidak lama kemudian mereka merasa perlu membagi ilmu yang telah mereka terima itu dengan rekan-rekan mereka di Sumatera Tawalib. Mereka mengundang rekan-rekan pelajar mereka di Sumatera Tawalib untuk belajar di Qadian. Tidak lama kemudian duapuluh tiga orang pemuda Indonesia dari Sumatera Tawalib bergabung dengan ketiga pemuda Indonesia yang terdahulu, untuk melanjutkan studi juga baiat masuk ke dalam Jemaat Ahmadiyah.

Dua tahun setelah orang Indonesia yang pertama baiat ke dalam Ahmadiyah, pimpinan Ahmadiyah Qadian saat itu, Hadhrat Khalifatul Masih II, pergi ke Inggris untuk menghadiri Seminar Agama-agama di Wembley, kemudian mengadakan kunjungan di Eropa.

Setelah Hadhrat Khalifah kembali dari lawatan ke barat, para pelajar Indonesia menginginkan sekali agar negara mereka, Indonesia, mendapatkan pengajaran langsung dari Hadhrat Masih Mau’ud a.s. melalui khalifahnya. Para pelajar kemudian mengundang Hadhrat Khalifatul Masih II dalam suatu jamuan teh, yang di dalamnya (alm) Haji Mahmud - juru bicara para pelajar Indonesia - menyampaikan sambutan dalam Bahasa Arab, mengungkapkan harapan mereka bahwa sebagaimana Hadhrat Khalifatul Masih II telah mengunjungi barat, mereka mengharapkan Hadhrat Khalifatul Masih II  berkenan mengunjungi ke timur, yaitu ke Indonesia.

Kemudian, (alm) Maulana Rahmat Ali dikirim oleh Hadhrat Khalifatul Masih II  sebagai muballigh ke Indonesia. Pada hari yang dibasahi hujan, pertengahan musim panas tahun 1925, Hadhrat Khalifatul Masih II, Hadhrat Haji Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad memimpin pelepasan (alm) Maulana Rahmat Ali berangkat ke Indonesia. Semenjak itulah, pondasi perkembangan Ahmadiyah Qadian di Indonesia telah diletakkan.

Maulana Rahmat Ali tiba pertama kali di Tapaktuan, Aceh. Di sana ada beberapa orang Indonesia yang baiat masuk Ahmadiyah. Tidak lama kemudian Maulana Rahmat Ali berangkat menuju Padang, ibukota Sumatera Barat. Di Padang, titik balik terjadi, banyak kaum intelektual, ulama Islam dan tokoh-tokoh masuk ke dalam Ahmadiyah, demikian pula orang-orang biasa. Dan di Padang-lah pada tahun 1926 Ahmadiyah secara resmi berdiri sebagai suatu jemaat atau organisasi.

Pada tahun 1931 Maulana Rahmat Ali berangkat menuju Jakarta, ibukota Indonesia. Dan perkembangan Ahmadiyah semakin cepat, banyak kaum intelektual, orang terpelajar, tokoh-tokoh terkenal dan masyarakat ningrat masuk ke dalam Ahmadiyah. Dan di Jakarta-lah Pengurus Besar Ahmadiyah didirikan dengan (alm) R. Muhyiddin sebagai Ketua pertamanya.

Hadhrat Khalifatul Masih II juga mengirimkan beberapa muballigh, dan para pelajar Indonesia yang belajar di Qadian untuk pulang kembali. Tetapi perkembangan itu bukan tanpa perjuangan. Para ulama Indonesia, baik tradisional maupun modernis terus menyerang dan menentang. Banyak perdebatan resmi terjadi antara Ahmadiyah dan ulama Islam lainnya, dan yang terbesar adalah dilaksanakan di Jakarta pada tahun 1933.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com