Itulah yang terjadi dalam pergelaran wayang orang dengan lakon ”Kresna Gatotkaca Kembar” yang dipentaskan di Gedung Kesenian Jakarta, Minggu, 6 Februari lalu.
Orang dapat saja mengatakan, dalam wayang orang lakon nomor dua, yang lebih utama adalah penampilan tari dan seni bertutur atau
Lakon ”Kresna Gatotkaca Kembar” memang bukan cerita arus utama dalam Mahabarata yang memayungi cerita pewayangan sebagaimana Ramayana. Namun, sebagaimana halnya cerita-cerita
Dari lakon ini orang boleh menduga, kerajaan salah satu tokoh utama tidaklah semasyhur Hastina, tetapi Purwantoro. Inilah kerajaan yang dipimpin Prabu Donolayu yang kemudian menyaru sebagai Prabu Kresna. Ia melakukan hal itu karena putri boyongan yang akan ia peristri hanya bersedia diperistri kalau persyaratan/
Penggubah cerita ini tentu amat memahami kisah pewayangan karena meski
Sementara itu, penyamaran Gatotkaca palsu untuk mencuri pusaka Jamus Kalimasada juga mulus karena Gatotkaca mengaku diutus oleh sesepuh Pandawa (yang saat itu sedang di luar istana untuk membangun Candi Sapta Argo) untuk meminjam pusaka itu dari Dewi Drupadi.
Untunglah Kresna asli selalu tanggap waskita, hingga ia bersama dengan Gatotkaca asli dapat mengungkap kasus pencurian ganda di atas setelah diberi tenggat oleh Bima. Ya, tentu saja begitu cerita mesti berjalan. Namun, yang tidak kalah penting adalah penggarapan detailnya.
Sebelum berhadapan dengan tokoh yang dipalsukan, Kresna dan Gatotkaca palsu terlibat adu mulut sebelum mencapai kesepakatan (
Kelucuan muncul saat masing-masing bertemu dengan tokoh asli. ”Gatotkaca” menagih kesanggupan Kresna untuk menyembah dirinya saat bertemu, tetapi tentu saja Kresna (asli) menolak dan justru ini kunci untuk mengetahui bahwa ”Gatotkaca” yang ia hadapi palsu. Demikian pula saat Gatotkaca (asli) menemui ”Kresna” (palsu). Saat ia ingin mengaturkan sembah, karena demikian lazimnya, ”Kresna” (palsu) justru merunduk karena—mengikuti kesepakatan—ia justru yang harus menyembah. Gatotkaca pun merunduk lebih rendah lagi dan diikuti oleh ”Kresna” hingga akhirnya kedua wayang ini sama-sama menelungkup (
Pemanggungan cerita di atas berdimensi luas. Dengan itu, seniman wayang orang mendapat kesempatan untuk berekspresi diri, selain tentu saja mendapatkan penghasilan. Ekspresi diri penting dalam kesenian karena dorongan artistik yang hidup dan mendarah daging dalam diri seniman akan layu dan melahirkan rasa tak dibutuhkan yang dalam. Sementara itu, masyarakat pun ikut dirugikan karena tidak mendapat hiburan bermutu tinggi.
Bagaimana tidak rugi kalau bakat-bakat cemerlang yang ada pada pemain-pemain di lakon ini lewat begitu saja tanpa dipanggungkan? Di sana ada tarian Prabu Donolayu (diperankan oleh Sulistiyono) yang di samping gagah, melambangkan raja yang bangga dengan dirinya, juga selaras dengan penari putri dan para prajuritnya manakala digabung.
Tarian para prajurit yang menuntut kerapian dalam
Hadirnya pemain wayang, yang bisa dikatakan sebagai
Pergelaran juga bertambah elok karena besutan koreografi yang digarap cemerlang oleh Supriyadi (untuk pria) serta Haryati, Surip Handayani, dan Dora Melati (untuk wanita).
Dan akhirnya, berbagai kiprah seniman tersebut dapat dikemas dengan mengalir, sedap dipandang, dan diikuti karena garapan D Supono selaku sutradara. Supono, yang sebelum ini juga menggarap lakon ”Banjaran Gatotkaca” untuk penampilan di Sydney Opera House, berhasil membangun lakon wayang yang efisien, tanpa meninggalkan aspek artistik.
Sebagaimana lazimnya terjadi, penampilan di panggung hanyalah klimaks dari proses panjang dari lahirnya ide,
Sebagaimana ia sampaikan dalam sambutannya, melalui Paguyuban Panca Budaya yang ia pimpin, Wid ingin turut serta dalam upaya melestarikan seni budaya bangsa, khususnya seni tradisional wayang orang.
Dengan didasari rasa kekeluargaan, Panca Budaya terpanggil untuk secara berkesinambungan menyelenggarakan pergelaran wayang orang sebagai satu karya kebudayaan yang mengagumkan.
Dalam semangat itu pula ia bisa mengajak bakat-bakat terbaik yang ada di lembaga lain, seperti personel Wayang Orang Bharata—yang juga sudah sibuk mempersiapkan pertunjukan rutin—juga sosok-sosok ulung dari luar kota, seperti Ali Marsudi dan Wulan dari RRI Solo atau Dewi Lestari yang terakhir giat mementaskan wayang orang di TMII melalui Kelompok Swargaloka, juga Prof Dr Edi Dharmono, PhD yang biasanya memperkuat WO Ngesti Pandowo Semarang. Ia juga merekrut penari-penari senior, seperti Lily Siswanto (Drupadi), juga Ida Soeseno (Priyambodo).
Di luar penari profesional, Wid juga memberikan kesempatan kepada pencinta wayang, seperti Laksamana Muda TNI Hary Yuwono SMn (Yudistira), diplomat Edi Haryadi (Batara Kamajaya), Kuntari Sapta Nirwandar (Sembodro), dan Aylawati Sarwono (Srikandi), untuk memperkuat pergelarannya.
Melengkapi konteks pergelaran budaya Nusantara ini, Panca Budaya—mengikuti namanya— malam itu juga menampilkan lima tarian dari berbagai penjuru Tanah Air, yakni tari Sekar Puri (Jawa Tengah), tari jejer (Banyuwangi), tari saman (Aceh), tari piring (Padang), dan tari nojeng (Betawi), yang ditampilkan dengan elok.
Di tengah perkembangan masyarakat yang suka sibuk sendiri, atau sering tak rukun, penggalangan seniman untuk menghadirkan seni budaya luhur ini sungguh membesarkan hati.