Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Komnas Temukan Kejanggalan

Kompas.com - 11/02/2011, 03:20 WIB

Jakarta, Kompas - Kekerasan terhadap warga Ahmadiyah yang berujung dengan tewasnya tiga orang di Cikeusik, Pandeglang, Banten, Minggu (6/2), adalah kasus yang direkayasa untuk kepentingan tertentu. Banyak kejanggalan yang menunjukkan peristiwa itu sebenarnya bisa dicegah, tetapi seperti sengaja dibiarkan meletup.

Demikian temuan sementara Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang disampaikan Wakil Ketua Komnas HAM M Ridha Saleh di Jakarta, Kamis. Hasil itu diperoleh setelah sejumlah anggota Komnas HAM melihat fakta di lapangan pascakerusuhan, Selasa dan Rabu.

”Kekerasan terhadap jemaah Ahmadiyah itu peristiwa luar biasa yang memiliki banyak dimensi. Dugaan kuat kami, ada rekayasa,” kata Ridha Saleh.

Dugaan itu muncul setelah Komnas HAM mencermati adanya sejumlah kejanggalan di lapangan dan berbicara dengan beberapa saksi. Lokasi kejadian di Kampung Peundeuy, Desa Umbulan, Kecamatan Cikeusik, Kabupaten Pandeglang, Banten, merupakan wilayah yang sebagian penduduknya miskin dan jauh dari kota. Kelompok Ahmadiyah di sana kecil dan baru muncul sejak Februari 2010.

Aparat keamanan mengetahui gejala kekerasan dua hari sebelum peristiwa meletus. Apalagi ada pesan pendek yang memberi informasi kemungkinan itu. Banyaknya orang dari daerah lain berdatangan ke sana juga terdeteksi. Namun, aparat keamanan tak segera mengerahkan pasukan yang memadai dan mencegah kekerasan terjadi.

Untuk menelusuri lebih jauh apa yang sesungguhnya terjadi di balik berbagai kejanggalan itu, Komnas HAM resmi membentuk tim investigasi gabungan atas kasus Cikeusik, Pandeglang. Selain turun ke lapangan, Komnas HAM juga mencari keterangan dari saksi, kepala desa, aparat, dan pejabat pemerintah.

”Kami mendesak pemerintah segera menangkap pelaku kekerasan, menegakkan hukum, dan membongkar semua ini,” ujar Ridha Saleh.

Sesuai dengan catatan Komnas HAM, selain tiga warga meninggal, ada 17 korban kekerasan di Cikeusik. Sebanyak 13 orang di antaranya terdata, seperti dirawat di rumah sakit atau kembali ke rumah. Empat orang lagi belum diketahui keberadaannya.

Kamis siang, Komnas HAM juga menerima pengaduan dari kelompok Petisi 28 yang diwakili beberapa aktivisnya, antara lain Gigih Guntoro, Hartsa Mashirul, dan John Mempi. Mereka mendesak Komnas HAM meminta keterangan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono; Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Djoko Suyanto; dan Kepala Polri Jenderal (Pol) Timur Pradopo. Pejabat itu bertanggung jawab atas terjadinya kekerasan terhadap warga Ahmadiyah di Cikeusik dan pembakaran gereja di Temanggung, Jawa Tengah.

Menurut Ridha Saleh, Komnas HAM berencana meminta penjelasan dari Menko Polhukam, Kepala Polri, Kepala Polda Banten, dan kepala polsek. Namun, untuk meminta penjelasan dari Presiden, perlu dibicarakan lagi.

Menurut Gigih, Petisi 28 juga memiliki data ada skenario untuk meletupkan kerusuhan. Ada mobilisasi warga dari luar Cikeusik dan Temanggung. Setelah peristiwa itu usai, sebagian massa memperoleh imbalan dari seseorang. ”Mungkin saja kekerasan ini sengaja dirancang untuk mengalihkan isu,” katanya.

Lima tersangka

Dari Pandeglang, Kamis, dilaporkan, polisi menetapkan lima tersangka dalam kasus kekerasan terhadap warga Ahmadiyah di Cikeusik. Tersangka berinisial YA alias I, UJ, KE, KN, dan KMH.

”Jumlah tersangka mungkin bertambah. Ada daftar pencarian orang (DPO atau buron) lima orang,” kata Kepala Polda Banten Brigadir Jenderal (Pol) Agus Kusnadi di Pandeglang, semalam. Polisi juga masih memeriksa saksi.

Agus mengatakan, polisi berupaya mengungkap kejadian di Cikeusik hingga tuntas. Semua pelaku yang terlibat kekerasan itu akan diproses secara hukum.

Menurut Agus, sebelum peristiwa di Cikeusik terjadi, telah diketahui rencana kegiatan massa yang akan mengusir dan membubarkan kegiatan Ahmadiyah. Rencana itu disebarkan melalui pesan pendek pada 3 Februari. Pada 4 Februari dilakukan koordinasi, termasuk dengan Pemerintah Kabupaten Pandeglang, untuk menanggulangi isu itu. Pada 5 Februari, polisi mengevakuasi tokoh Ahmadiyah di Cikeusik, Suparman, dan dua anggota keluarganya serta membawa mereka ke Polres Pandeglang.

Minggu lalu pukul 03.00, Polri menjaga rumah Suparman yang kosong. Sekitar pukul 07.00, ada dua mobil yang mengangkut beberapa orang dari luar Pandeglang ke rumah Suparman.

”Petugas menegosiasikan untuk mengevakuasi mereka, tetapi mereka menolak dengan alasan akan mempertahankan barang inventaris milik Ahmadiyah,” kata Agus. Menurut dia, jumlah personel di Cikeusik sebelum kejadian itu 30 orang, selanjutnya ditambah 115 personel.

Menurut dia, sekitar 1.500 orang yang mendatangi rumah Suparman berasal dari beberapa kecamatan, seperti Cigeulis, Cibaliung, dan Cikeusik. Polisi awalnya hanya mengamankan rumah Suparman.

Kamis sore, ratusan ulama, tokoh masyarakat, dan santri mendatangi Polres Pandeglang. Mereka, antara lain, mendesak agar polisi membebaskan beberapa ulama yang masih berada di kantor polisi terkait dengan kasus Ahmadiyah di Cikeusik.

Menurut Agus Setiawan dari Tim Pembela Muslim (TPM) Banten, mereka berupaya agar ulama yang statusnya terperiksa tidak ditahan.

Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Ahmad Syafii Maarif di Jakarta, Kamis, meminta pemerintah konsentrasi bekerja untuk penyelesaian pelbagai permasalahan yang selama ini merongrong rasa keadilan rakyat.

Dialog terbuka

Secara terpisah, Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, Kamis di Jakarta, menjelaskan, Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri tentang Ahmadiyah masih akan dikaji. Tuntutan pencabutan SKB atau usulan dijadikan peraturan yang mengikat belum ditanggapi.

”Kita akan mengundang berbagai pihak dari perguruan tinggi, ulama, dan pemerhati masalah ini untuk membahas solusi yang paling pas,” kata Gamawan.

Sementara belum ada putusan mengenai ini, SKB 3 Menteri— Menteri Dalam Negeri, Menteri Agama, dan Jaksa Agung—tetap berlaku. SKB tetap dianggap pedoman untuk menghadapi persoalan terkait Ahmadiyah.

Kendati demikian, Gamawan menegaskan, tidak ada toleransi kepada siapa pun yang melanggar hukum, termasuk melakukan kekerasan terhadap orang lain.

Menteri Agama Suryadharma Ali, secara terpisah, Kamis di Jakarta, menyatakan, pemerintah sedang menyiapkan dialog terbuka bersama jemaah Ahmadiyah dengan melibatkan ahli dan organisasi keagamaan di Indonesia. Lewat dialog itu diharapkan permasalahan terkait dengan kelompok ini bisa makin jelas dan kemudian diambil kesimpulan yang tepat.

Menurut Suryadharma, dialog itu akan melibatkan Majelis Ulama Indonesia (MUI), Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, beberapa organisasi Islam lain, ahli tentang Ahmadiyah, lembaga swadaya masyarakat pemerhati Ahmadiyah, dan perwakilan pemerintah. ”Konsepnya sedang disusun. Dialognya mungkin minggu depan,” katanya.

Dalam dialog itu, katanya, Ahmadiyah akan diberi kesempatan untuk menjelaskan pahamnya. Demikian pula kelompok yang memandang Ahmadiyah sebagai aliran yang menyimpang dari Islam. Dengan begitu, akan terkumpul informasi yang utuh dan seimbang mengenai masalah ini.

”Setelah itu, kita akan mudah mencari solusi yang terbaik. Bagaimanapun, jemaah Ahmadiyah itu warga negara Indonesia,” katanya. Menurut Suryadharma, ada wacana empat alternatif untuk menyelesaikan kasus Ahmadiyah.(IAM/EDN/HAR/WHY/CAS/nta/APO/INA/ATO/ENG)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com