Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Memutus Rantai Impunitas

Kompas.com - 21/01/2011, 03:36 WIB

Perkosaan sebagai alat perang dan alat penyiksaan telah diakui negara, seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. UU tersebut menyebut pelanggaran HAM berat menyangkut genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau pensterilan paksa, dan bentuk kekerasan seksual yang setara adalah bagian dari kejahatan terhadap kemanusiaan dan menjadi bagian dari serangan yang meluas dan sistematik.

Indonesia pernah mengalami masa-masa di mana perkosaan menjadi alat perang, seperti diakui dalam laporan Komisi Kebenaran dan Persahabatan yang dibentuk untuk proses rekonsiliasi Indonesia dan Timor Leste pascajajak pendapat 1999. Di Aceh dan Irian Jaya, perkosaan juga terjadi semasa provinsi itu berada dalam daerah operasi militer, seperti yang telah dilaporkan oleh Komnas Perempuan.

Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa secara resmi baru mengakui pada tahun 2008 bahwa perkosaan digunakan sebagai alat perang. Jauh sebelumnya, konvensi Geneva melarang perkosaan dalam peperangan. Pengakuan PBB tersebut membuat tidak ada satu pun negara anggota PBB dapat menghindar dari keharusan memastikan tidak terjadi kejahatan perkosaan bila terjadi perang. Para komandan, termasuk para jenderal yang mengomandoi peperangan, kini tidak dapat menutup mata bahwa perkosaan adalah pelanggaran HAM berat.

Perkosaan telah menjadi cara penundukan musuh sejak lama. Perkosaan dianggap sebagai cara mengalahkan musuh tanpa harus terlibat dalam perang sesungguhnya. Di daerah-daerah konflik, perkosaan akan membuat warga sipil melarikan diri dari desa atau kota, meninggalkan harta benda dan tanah mereka untuk dikuasai pihak penyerang.

Dalam situasi kejahatan paling ekstrem, perkosaan menjadi alat pembersihan etnis dan genosida, seperti terjadi di Bosnia, Darfur, dan Rwanda.

Perempuan sebagai korban perkosaan, seperti telah diungkap dalam berbagai laporan dari berbagai negara, juga di Indonesia, mengalami kekerasan berlapis. Selain mengalami penderitaan fisik dan psikis akibat tindak perkosaan itu sendiri, korban juga mengalami kekerasan dari keluarga dan komunitas. Pengakuan para perempuan korban perkosaan dalam pergolakan di Timor Timur pascajajak pendapat 1999 memperlihatkan, mereka tidak diterima di keluarga dan komunitas karena dianggap telah tercemar oleh musuh. Hal ini juga terjadi di daerah konflik, seperti Aceh dan Papua, seperti laporan Komnas Perempuan.

Rasa malu dan rasa direndahkan tersebut menyebabkan ikatan sosial di dalam keluarga dan komunitas retak. Di komunitas-komunitas di mana kehormatan diletakkan di pundak perempuan, perempuan korban perkosaan menjadi pihak yang harus menanggung beban, bukan pemerkosanya.

Bagi pelaku, seperti dilaporkan The Economist (15-21 Januari 2010), perkosaan selain merupakan cara penundukan yang diam-diam disetujui pemimpin perang di tingkat tertinggi, juga menjadi cara menyatukan para serdadu, terutama yang dijadikan anggota secara paksa, seperti terjadi di Sierra Leone, Afrika.

Perkosaan dan peperangan

Hukuman terhadap pelaku perkosaan dalam peperangan, di beberapa negara ternyata lebih ringan daripada hukuman untuk kejahatan perang lainnya. Terobosan di tingkat internasional terjadi ketika pengadilan kriminal perang Balkan menghukum tiga laki-laki karena memerkosa, menyiksa, dan melakukan perbudakan seksual terhadap perempuan di Foca, Bosnia.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com