JAKARTA, KOMPAS.com - Selama puluhan bahkan ratusan tahun, bangsa Indonesia mampu hidup berdampingan secara damai. Tidak ada bukti sejarah bahwa perbedaan etnis, budaya, bahasa, dan agama adalah sumber konflik. Ini disebut modal sosial yang memperkuat dan meneguhkan keragaman bangsa yang dikukuhkan dengan falsafah Bhinneka Tunggal Ika.
Sejak awal kemerdakaan, Indonesia sesungguhnya memiliki pengalaman bagus dalam mempraktikkan toleransi. Dari data yang dihimpun Moderate Muslim Society (MMS), dalam sepuluh tahun pertama Indonesia merdeka, kasus-kasus intoleransi belum pernah terjadi.
Kasus intoleransi baru terjadi pada sepuluh tahun kedua dengan dua kasus. Fenomena intoleransi menjadi semakin sering terjadi setelah orde baru berkuasaa, dan makin sering setelah orde baru tumbang. Puncaknya pada periode tahun 1995-2004, yang mencapai 180 kasus.
"Laporan MMS tahun 2010 mencatat telah terjadi 81 kasus intoleransi, meningkat 30 persen dari laporan tahun 2009 yang mencatat 59 kasus intoleransi," kata Zuhairi Misrawi ketua MMS dalam Laporan Toleransi dan Intoleransi tahun 2010 di Aula Paramadina Pondok Indah, Jakarta Selatan, Selasa (21/12/2010).
Zuhairi mengatakan, dari 81 kasus intoleransi, jenis kasus yang paling sering terjadi adalah 24 kasus penyerangan dan perusakan, 24 kasus penutupan dan penolakan rumah ibadah, 15 kasus ancaman, tuntutan dan intimidasi, 6 kasus penghalangan kegiatan ibadah, 4 kasus diskriminasi karena keyakinan, 3 kasus pembubaran kegiatan atas nama agama, 3 kasus kriminalisasi paham keagamaan, dan 2 kasus pengusiran.
Dari segi wilayah atau tempat, sepanjang tahun 2010 tindakan intoleransi paling banyak terjadi di wilayah Jawa Barat dengan 49 kasus, Jawa Timur dengan 6 kasus, DKI dengan 4 kasus, dan Sulawesi Selatan dengan 4 kasus.
Pelaku dan korban
Dari segi pelaku intoleransi, massa yang tidak diketahui dari mana menjadi pihak paling sering melakukan tindakan intoleransi, yakni dengan 33 kali. Negara juga melakukan tindakan intoleransi sebanyak 24 kali dan organisasi masyarakat (ormas) sebanyak 23 kali.
"Tiga besar pelaku intoleransi di atas tidak mengalami perubahan dari temuan MMS dalam laporan akhir tahun 2009. Pemerintah daerah atau pemerintah kota, polisi, dan satpol pp merupakan tiga aparatur negara yang paling sering melakukan tindakan intoleransi," kata Zuhairi.
Dari segi korban, MMS mencatat umat Kristiani dan pengikut Ahmadiyah menjadi korban paling sering menjadi sasaran baik dari pemerintah, ormas dan massa. Umat Kristiani mengalami perlakuan intoleransi sebanyak 33 kali, Ahmadiyah sebanyak 25 kali, dan kelompok yang dianggap sesat sebanyak 11 kali.
Zuhairi mengatakan, berdasar kategori intoleransi versi Karuna Center for Peacebuilding, hampir semua jenis dan tingkatan intoleransi kecuali genocide sudah terjadi. "Mulai dari penolakan atas status dan akses yang sama terhadap kelompok lain (restriction), pandangan yang menganggap kelompok lain lebih rendah (de-humanization), pengabaian hak-hak sipil, politik, dan ekonomi (opression), penyerangan (act of agression) hingga pengorganisasian pembunuhan massal (mass violence) sudah terjadi," paparnya.
"Ancaman intoleransi masih sangat mengkhawatirkan, bukan hanya karena tindakan intoleransi meningkat tajam. Namun, pihak-pihak yang sejatinya menjaga toleransi justru menjadi pelaku intoleransi," ujar Zuhairi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.