Oleh Ninok Leksono
"Di (Pulau) Jawa saja, 120 juta orang tinggal di dalam bayang-bayang lebih dari 30 gunung berapi." (National Geographic, "Volcano", 2010)
"Kabar baik sudah sangat banyak. Kabar buruknya adalah stabilitas yang ada sekarang ini, betapapun kita menghargainya, sesungguhnya rapuh mengkhawatirkan." (The Economist, 19/12/2010, mengomentari perekonomian dunia pascaresesi)
Akhir Desember, bagi banyak orang, adalah momen refleksi, saat untuk mengambil jarak atas kejadian yang berlangsung 12 bulan sebelumnya. Tak ayal, yang terlintas—lazimnya—adalah rentetan hari yang hiruk-pikuk, dilatarbelakangi oleh beradunya kepentingan politik, oleh upaya ekonomi yang tak selalu berhasil, dan ketegangan sosial yang dipicu kepongahan dan perasaan diri paling benar.
Di luar itu, atau justru karena sibuk terlilit oleh urusan manusiawi dan duniawi tersebut, umumnya sebagian besar dari kita lupa, atau mungkin lengah, pada agenda alam tempat manusia berpijak. Sebagian besar kita lupa pada keniscayaan "suratan takdir" yang telah ditetapkan pada alam, bahwa pada saat-saat tertentu sebuah gunung berapi akan meletus, dan pada saat tertentu ketegangan di antara lempeng-lempeng tektonik yang selama beberapa (puluh atau ratus) tahun terakhir akan berujung pada pelepasan energi berupa gempa bumi dahsyat. Itulah keniscayaan daulat alam.
Kata orang bijak, gempa tak menimbulkan bencana, tapi bangunan yang robohlah yang menimbulkan bencana. Gunung berapi juga tak menimbulkan bencana, tapi kelambanan kita menjauhinya saat ia murkalah yang mendatangkan bencana.
Refleksi atas bencana alam boleh jadi anakronistis atau tidak tepat waktu menjelang pergantian tahun yang diharapkan menghadirkan rasa nyaman dan bahagia. Tapi jelas ia bukan anathema, karena bahkan di tahun yang baru pun, bahkan di tahun-tahun sesudahnya, ancaman itu akan terus ada. Faktanya, Tanah Air Indonesia akan terus berada di atas kawasan Cincin Api Pasifik, tempat bertemunya lempeng-lempeng tektonik utama dunia, yang juga ditandai oleh ratusan gunung berapi, yang secara bergiliran akan meletus dari waktu ke waktu.
Dalam perspektif itulah tahun ini Kompas mengangkat refleksi bencana 2010 sebagai tema utama Laporan Akhir Tahun. Ini bukan dengan semangat mencari kesalahan, tapi untuk mendapatkan kesadaran baru dan pengetahuan lebih banyak guna mempersiapkan diri lebih baik dalam menyongsong gempa dan letusan gunung berapi yang niscaya akan terjadi tersebut.
Dengan kesadaran baru, kita berharap bukan saja mampu menjadi bangsa pembelajar, melainkan juga lebih punya pegangan ketika menghadapi alam yang bagi dirinya sedang mencari keseimbangan baru, tetapi sedang murka menurut paham manusia.
Persiapan jelas tak bisa main-main karena yang kita hadapi sungguh alam yang mahaperkasa. Gunung-gunung berapi di Cincin Api Pasifik—menurut National Geographic ("Volcano", 2010)—adalah yang paling aktif di dunia. Sebanyak 450 dari 1.900 gunung api yang berada di dunia ada di kawasan tapal kuda yang terentang sepanjang 40.000 kilometer ini.