Ilham Khoiri
Sejak abad ke-19 Masehi, Pulau Belitong didatangi banyak orang karena kandungan timahnya. Namun, ketika pamor bahan tambang ini kian merosot tahun 1990-an, kawasan di Bangka Belitung ini seakan ditelantarkan. Kini, lewat novel ”Laskar Pelangi,” muncul harapan baru.
Nama Belitong terkenal setelah Belanda mendirikan perusahaan pertambangan timah bernama Gemeenschappelijke Mijnbouwmaatschappij Billiton (GMB) tahun 1851. Perusahaan besar ini mendatangkan banyak pekerja dari berbagai kawasan di Nusantara, bahkan dari China. Mereka dikenal sebagai kuli kontrak.
Saderi (69), tokoh masyarakat di Gantong, Belitung Timur, menuturkan, kehidupan para pekerja itu dijamin perusahaan. Belanda memasok kebutuhan bahan pangan, sandang, dan papan mereka. Warga lokal yang tidak terkait pertambangan timah sulit mencicipi fasilitas itu.
Belitung kemudian menjadi bagian dari Provinsi Sumatera Selatan ketika Indonesia merdeka pada 1945. Perusahaan timah dikelola negara lewat PN Timah yang selanjutnya menjadi PT Timah Tbk. Hingga 1980-an, ketika pamor timah mentereng di dunia, kawasan ini masih diperhatikan.
Namun, pada pertengahan 1990-an, seiring dengan merosotnya harga timah dunia, pertambangan di Belitong ditutup. Pulau ini lantas seolah ditinggalkan begitu saja. Ketika penambangan liar mengeduk tanah di pulau itu sehingga bolong-bolong, kerusakan tersebut seperti didiamkan saja.
Kehidupan pulau tak banyak berubah meski kemudian berusaha mandiri sebagai Provinsi Bangka Belitung tahun 2000. Belitung dimekarkan menjadi Belitung (induk) dengan ibu kota Tanjung Pandan dan Belitung Timur dengan ibu kota Manggar. Kerusakan lingkungan akibat penambangan liar kian parah.
”Kami ketinggalan dalam pendidikan, ekonomi, dan infrastruktur,” kata Saderi.
Perhatian masyarakat terhadap Pulau Belitong mulai berubah saat terbit novel
Sukses itu kemudian diperkuat novel-novel berikutnya, yaitu
”Kisah perjuangan anak-anak itu bisa jadi inspirasi bagi semua orang, tak terbatas negara,” kata John Colombo (25), penerjemah
Laskar Pelangi kian meledak, terutama setelah diangkat ke layar lebar dengan sutradara Riri Riza pada 2008. Film produksi Miles Films dan Mizan Productions itu ditonton sekitar 4,6 juta orang dan menyabet penghargaan internasional. Salah satunya masuk dalam seksi panorama di Berlinale International Film Festival tahun 2009.
Film berikutnya,
Sukses
Semua itu memberikan efek ekonomi, terutama jasa transportasi, hotel, dan rumah makan. Lebih penting lagi, masyarakat setempat memaknai sukses
Agar tren ini tak jadi momen sesaat, Andrea Hirata bersama tokoh-tokoh warga lokal menyelenggarakan Festival Laskar Pelangi yang direncanakan diadakan setiap tahun. Untuk tahun 2010, festival berlangsung selama November. Berbagai ekspresi seni budaya lokal ditampilkan, seperti tari, musik, dan seni pertunjukan.
Tak hanya memusat di panggung, berbagai kelompok masyarakat juga didorong untuk menyajikan ragam budaya dalam karnaval. Ada barongsai, seni lesung panjang, tari campak, beripat, sepen, pakaian adat, atau bahasa Melayu lokal. Sebagian seni pertunjukan tradisional itu kemudian dikolaborasikan dengan seni modern, seperti puisi atau musik jazz. Salah satunya, Aminoto Kosin, personel Karimata Band yang jaya pada 1980-an sampai 1990-an.
”Masyarakat sangat antusias. Mereka ingin sekali menghidupkan budaya sendiri yang sebenarnya mulai terkikis zaman,” kata Fakhrul Rizal, Kepala Desa Linggang sekaligus Direktur Festival Laskar Pelangi.
Panitia festival mengukuhkan Desa Linggang sebagai ”Desa Sastra”. Tak jelas betul bagaimana konsepnya, tetapi yang jelas salah satu jalan desa diberi nama Jalan Laskar Pelangi, beberapa yang lain dengan nama tokoh-tokoh sastra Indonesia. Dibangun pula rumah puisi Andrea Hirata untuk residensi seniman dari luar serta rumah baca Laskar Pelangi sebagai perpustakaan umum.
Andrea Hirata menuturkan, program desa sastra itu terinspirasi dari perjalanannya di Amerika Serikat beberapa waktu sebelumnya. Dia sempat mampir ke Hannibal di Missouri,
Gerakan serupa mungkin dapat