Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Sejarah Saya Memang Parah"

Kompas.com - 04/12/2010, 02:43 WIB

Budiarto Shambazy

Sebagai bekas warga Pujowinatan dan Gunung Ketur, saya tersinggung dengan perlakuan terhadap Yogyakarta. Rasanya kurang kerjaan memperuncing ”monarki versus demokrasi”.

Buyar kenangan manis menikmati wangi jamu lempuyang dan rasa aman-nyaman nongkrong di bawah pohon beringin raksasa di halaman Pakualaman. Rasa sedih melihat Yogyakarta diselimuti wedhus gembel berubah jadi murka.

Perlakuan itu meremehkan peranan historis dan kultural Yogyakarta. Ini melting pot yang sejak dulu menaungi ragam suku, agama, dan kelas. Makanya secara kultural disebut ”daerah istimewa”.

Lebih menjengkelkan isu ini diketengahkan saat rakyat Yogyakarta dan sekitarnya sedang menghadapi bencana Merapi. Rakyat Yogyakarta, seperti kata pepatah, ”sudah jatuh, tertimpa tangga pula”.

Celakalah mereka yang tak belajar sejarah. Seperti kata Bung Karno, ”Jas Merah” (Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah). Namun, bagi sebagian orang, singkatan Jas Merah rupanya telah berubah jadi ”Sejarah Saya Memang Parah”.

Bicara sejarah, Yogyakarta entitas terlekat dan terdekat dengan perjuangan kemerdekaan. Jika tak ada Hamengku Buwono IX yang jadi Sultan September 1940 dan Paku Alam VIII yang naik takhta April 1937, jalan cerita perjuangan bisa saja lain.

Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII menyatakan wilayah mereka bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebulan setelah proklamasi. Entah berapa banyak aset kedua kerajaan kecil itu disumbangkan untuk perjuangan.

Tak sedikit kerajaan meniru langkah Yogyakarta, antara lain Solo, Bone, Makassar, Bugis, dan raja-raja di Bali. Saat itu NKRI belum besar, antara lain baru terdiri dari Yogyakarta, Jawa Tengah, Sumatera, Kalimantan, Jawa Barat, Jawa Timur, Sulawesi, Maluku, dan Sunda Kecil.

Yogyakarta bukan hanya jadi ibu kota, melainkan juga pusat reli perjuangan kaum muda bersama kota Jakarta, Solo, Bandung, Malang, dan Surabaya. Suka atau tidak, Hamengku Buwono IX tokoh perjuangan penting yang bisa disejajarkan dengan Bung Karno dan Bung Hatta.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com