Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menanti Gebrakan Baru KPK

Kompas.com - 03/12/2010, 10:48 WIB

Rakyat Indonesia hampir muak dengan berita-berita yang tidak pernah absen dari masalah korupsi. Seakan korupsi telah menjelma menjadi bagian dari budaya negara kita. Tidak satu pun lini kehidupan di negeri ini bisa luput darinya.

Pada awalnya, penyidikan terhadap kasus-kasus KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) adalah wewenang pihak kepolisian dan kejaksaan. Namun, seiring berjalannya waktu, kita jumpai kinerja kedua lembaga tersebut dirasa belum memuaskan.

Pemerintah juga menyadari hal tersebut sehingga pada tahun 2002 dibentuklah sebuah komisi khusus yang diberi wewenang penuh dalam menangani kasus-kasus korupsi, yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Hadirnya KPK membawa sedikit angin segar bagi iklim pemberantasan korupsi di Indonesia dan sedikit memberi kelegaan hati masyarakat Indonesia yang telah lama mendamba sebuah keadilan.

Secara umum, masyarakat berharap, sebagai sebuah lembaga independen, KPK akan mampu melaksanakan fungsi dan tugasnya secara tegas tanpa intervensi dari pihak mana pun sehingga apa yang menjadi tujuan utama didirikannya lembaga tersebut mampu membuahkan hasil yang maksimal, yaitu menyelamatkan Indonesia dari bahaya korupsi.

Namun sayang, fakta di lapangan berkata sebaliknya. KPK yang sejatinya memiliki wewenang luas tanpa batas justru ”kehilangan taring”. Skandal demi skandal korupsi tidak terbendung. Indikasi tebang pilih dalam proses penyidikan terhadap laporan adanya tindakan korupsi semakin melunturkan kepercayaan sebagian besar rakyat. Belum lagi masih banyaknya kasus lama yang hingga kini belum menemukan titik terang, salah satu contohnya adalah kasus Bank Century.

Fenomena di atas memunculkan sebuah stigma yang mengatakan bahwa selama ini KPK bekerja setengah hati, yang penting tidak terkesan menganggur. Menangani satu kasus saja tidak kunjung selesai, sementara berkas acara pemeriksaan kasus korupsi kian hari kian menumpuk dan menanti untuk segera dimejahijaukan.

Keterlambatan KPK menangani kasus yang berkaitan dengan masalah korupsi justru menimbulkan bibit-bibit baru kasus korupsi yang tumbuh bagaikan jamur di musim hujan karena seolah tidak ada ketegasan hukum terhadap oknum yang pekerjaannya merongrong kekayaan negara.

Tantangan bagi Busyro Muqoddas, sebagai ketua KPK terpilih, membatasi ruang gerak tindakan korupsi sesempit mungkin, dengan keseriusan dalam memberikan sanksi hukuman. Apabila sanksi formal dirasakan tidak membawa efek jera, mengapa tidak memberlakukan sanksi-sanksi sosial, satu misal penyitaan (pemiskinan) terhadap aset kekayaan pelaku korupsi sehingga contoh kasus Gayus yang keluar-masuk penjara seenaknya sendiri tidak perlu terjadi.

Membangun kembali public trust yang sempat memudar menjadi salah satu PR besar. Amanah yang ada di punggung KPK harus membuat komisi ini bekerja keras dan all out menangani berbagai indikasi tindakan korupsi di berbagai tingkat pemerintahan, mulai dari tingkat kabupaten, provinsi, dan pemerintah pusat. Ini karena ketika kepercayaan publik sudah terbangun maka apa yang dilakukan KPK akan senantiasa mendapatkan dukungan berbagai pihak.

KPK harus bisa menciptakan simbiosis mutualis dengan dua lembaga penegak hukum lainnya, yaitu Jaksa Agung dan Polri, sehingga tragedi saling cekal sesama aparat penegak hukum tidak terulang kembali karena hal semacam itu menunjukkan ketidakdewasaan dan hanya akan membuat hati rakyat semakin terluka.

Saat ini, rakyat Indonesia sedang menanti gebrakan baru di tubuh KPK, apakah Indonesia akan tetap seperti Indonesia yang dulu, dengan sederet daftar hitam korupsi, atau akan muncul secercah sinar harapan dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih.

AKHMAD RIFA’I MA’RUF Mahasiswa Jurusan Tafsir dan Hadits Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com