Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Monarki Yogya" Inkonstitusional?

Kompas.com - 01/12/2010, 04:50 WIB

Sesuai dengan Aturan Peralihan UUD 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia memilih presiden dan wakil presiden secara aklamasi, kemudian menetapkan kementerian, sejumlah provinsi dan keresidenan, serta komite nasional daerah untuk membantu kepala daerah.

Sultan Hamengku Buwono IX dan Adipati Paku Alam VIII tidak bergabung dengan Belanda. Menurut ”Piagam Kedoedoekan dari Presiden Soekarno” (19/8/1945) maupun ”Maklumat Dua Radja” (5/9/1945), Negari Ngajogjakarta Hadiningratberintegrasi ke dalam Indonesia dan berstatus daerah istimewa sehingga menambah wilayah kepada bekas Hindia Belanda; kedudukan kepala daerahnya melekat pada Sultan dan Paku Alam yang berhubungan langsung dengan presiden RI. Presiden Soekarno mengumumkannya pada 19 Oktober 1945.

Namun, gempuran menyerbu Indonesia yang tanpa kekuatan militer efektif. Gyugun atau Peta dan Heiho dibubarkan Jepang, Tentara Keamanan Rakyat harus berkonsolidasi karena baru dibentuk (5/10/1945). Belanda membonceng tentara Amerika yang berhasil menguasai Jakarta, Bandung, dan Semarang.

Sebelum pertempuran 10 November pecah di Surabaya, harian Kedaoelatan Rakjat di Yogyakarta (24/10/1945) memberitakan kewaspadaan ”akar rumput” berbentuk Resoloesi Djihad Nahdlatul Ulama yang mewajibkan tiap-tiap muslim mempertahankan kemerdekaan Indonesia (Surabaya, 22/10/1945).

Api revolusi terus digelorakan meski ibu kota Indonesia harus dipindahkan ke Yogya (Januari 1946). Yogya jadi Kota Revolusi atau Kota Perjuangan. Kedua rajanya ikut menanggung pembiayaan pemerintahan dan digunakan dalam sebutan ”RI Yogya” karena jadi konstituen Negara Bagian RI dalam Republik Indonesia Serikat (1949-1950).

Perubahan konstitusi

Keistimewaan Yogya diakui oleh Konstitusi RIS 1949. Melalui UU No 3 Tahun 1950 (Maret), Negara Bagian RI menyebutnya sebagai Daerah Istimewa Yogyakarta dan setingkat provinsi. UUD Sementara 1950 mengatur serupa dan UU No 1 Tahun 1957 mengatur khusus status kepala daerah istimewa dan wakilnya serta kedudukan keuangannya.

Setelah UUD 1945 diberlakukan kembali pada tahun 1959, UU No 18 Tahun 1965 menegaskan bahwa kepala daerah dan wakil kepala DIY tak terikat jangka waktu masa jabatan. Orde Baru melanjutkan pengaturan ini, Pasal 91 UU No 5 Tahun 1974.

Setelah Presiden Soeharto mundur pada 1998, aturan itu diteruskan oleh UU No 22 Tahun 1999, tetapi penyelenggaraan pemerintahannya berdasarkan UU ini. Amandemen Pasal 18 UUD 1945 kemudian mengharuskan gubernur, bupati, dan wali kota dipilih secara demokratis, lex generalis , sekaligus mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa, lex specialis. Maka, UU No 32 Tahun 2004 mempertahankan keistimewaan Yogya.

Warga Yogya tentu mematuhi Maklumat September 1945 bahwa Yogya adalah bagian Indonesia. Sampaikanlah pendapat tentang kepala daerah kalau Presiden SBY bertanya melalui plebisit. Kita tunggu akankah referendum Indonesia ”memerdekakan” Yogya atau amandemen UUD 1945 meniadakan keistimewaan daerah dari dirinya.

Bersama para pendiri Indonesia, saya berterima kasih kepada almarhum Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII karena kerajaannya dijadikan singgasana bagi jiwa-jiwa Indonesia merdeka.

MOHAMMAD FAJRUL FALAAKH Dosen Fakultas Hukum UGM; Lahir di Gresik, Jawa Timur

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com