Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bencana dan Sensibilitas Kekuasaan

Kompas.com - 08/11/2010, 10:16 WIB

Adde M Wirasenjaya 

Bencana datang seolah sebuah undian bagi kita yang hidup di ring of fire ini. Kesadaran bahwa bangsa Indonesia hidup dalam ancaman alam harus senantiasa ditumbuhkan, tidak hanya bagi masyarakat Indonesia, namun terutama bagi pejabat negara. Bagaimanapun kesadaran para elite dan penguasa akan menjadi faktor penting bagi penanganan bencana yang terus melanda. Atau, jika pernyataan ini kita balik, cara pemerintah atau negara menangani bencana pada dasarnya mencerminkan sensibilitas kekuasaan atas nasib rakyatnya.

Maka kita terenyak ketika seorang Marzuki Alie, dalam posisinya sebagai ketua DPR, mengeluarkan statement yang menohok saat merespons bencana tsunami di Mentawai. Tanpa tedeng aling-aling, Sang Ketua Parlemen mengemukakan, banyaknya korban tsunami disebabkan masyarakat yang sendiri, yang ”nekat” bermukim di daerah berbahaya. Belakangan Marzuki membuat apologi di sebuah media (Kompas, 4/11), yang seperti biasa—menuduh media tak utuh menangkap kata-katanya. Baiklah kita terima apologi itu. Namun, sebuah statement yang keluar dari mulut pemangku kuasa seperti dirinya pastilah memiliki dampak luas.

Ia mengimplikasikan satu hal: betapa sensibilitas kekuasaan di negeri ini begitu rendah. Apalagi tersiar kabar, saat Mentawai dilanda tsunami, sang Gubernur Sumatera Barat memilih pergi ke luar negeri. 

Kadang kita terperangah dengan jargon-jargon filosofis dan konstitusi yang didedahkan ke hadapan masyarakat di republik ini. Kita kerap dininabobokan oleh berbagai formulasi moralistik yang menempatkan bangsa ini sebagai bangsa pemilik luhur solidaritas. Namun, para pelanggar konstitusi dan mereka yang buta-tuli atas nalar budi bangsa ini justru sering muncul dari kalangan elite sendiri. Mereka gagal menangkap solidaritas tanpa batas yang berlangsung di masyarakat bawah: anak-anak yang menyerahkan tabungan, anak-anak sekolah dan kaum muda yang tanpa letih menggalang dana, para relawan yang datang bagai debu.

Mengapa di negeri yang kita konstruksi sebagai ”kapitalis”, negara justru terlihat ramah kepada publiknya? Siapa pun tahu, Amerika adalah representasi nyata dari negeri kapitalis. Tesis umum yang berlaku bagi negeri kapitalis adalah peran negara yang minimal. Sering juga konsep negara seperti ini disebut sebagai pemadam kebakaran. Sementara Indonesia, dalam konstitusi sesungguhnya, sangat kental dengan aroma sosialis. Seperti terbaca dalam konstitusi kita, di mana kekayaan alam dikuasai negara dan digunakan sepenuhnya untuk kemaslahatan masyarakat. Indonesia juga selalu memuja Demokrasi Pancasila, yang pada intinya menempatkan negara sebagai pihak yang tidak abai atas persoalan sosial dan ekonomi warganya.

Dalam kasus Pinera di Cile, kita melihat sisi esoteris kekuasaan, yakni kekuasaan yang menyelamatkan harapan. Kasus kebocoran minyak di Teluk Meksiko dan banjir lumpur yang sudah menahun di Sidoarjo memberi gambaran kontras tentang peran kedua negara dalam hubungannya dengan pemilik modal dan dengan komitmen negara untuk menjaga kepentingan warganya. Dalam kasus Teluk Meksiko, Presiden Obama mampu bertindak tegas. Atas peristiwa yang melibatkan korporasi raksasa perminyakan seperti British Petroleum (BP), Obama berdiri di garis paling depan.

Banjir minyak di Teluk Meksiko akan berakibat buruk pada kualitas ekologi juga akan berdampak pada kesehatan publik Amerika. Obama secara tegas memberi ultimatum kepada BP untuk menyelesaikan kasus itu. BP pun ketar-ketir, bukan semata-mata oleh dampak buruk yang disebabkan tumpahan minyak, melainkan juga oleh sikap tegas Presiden Obama. Obama seakan mempertaruhkan dirinya untuk berdiri paling depan memberi perlindungan bagi masyarakat Amerika sebagaimana janjinya pada saat kampanye. BP pun dengan sekuat tenaga dan dana berusaha menghentikan semburan minyak di lepas pantai itu. Kabar terbaru menunjukkan BP berhasil menutup semburan minyak. Kurang dari empat bulan, BP relatif bisa mengendalikan semburan minyak dan mencegah bahaya yang lebih besar. Tidak hanya dalam upaya menghentikan semburan, BP pun berkomitmen memberikan dana kompensasi bagi masyarakat yang terkena dampak pencemaran laut Teluk Meksiko.

Dalam kasus Lapindo Brantas yang sudah berlangsung empat tahun, di mana peran negara? Bagaimana posisi negara berhadapan dengan korporasi lokal milik grup Bakrie ini? Berbeda dengan panorama yang ditampilkan Obama, dalam kasus Lapindo penyelesaian sangat berlarut-larut. Alih-alih memberikan sanksi tegas kepada pihak perusahaan yang secara nyata menjadi penyebab banjir lumpur yang hampir menenggelamkan desa. Negara seakan takluk di bawah korporasi tingkat lokal. Yang lebih menyedihkan, anggaran penanganan untuk menghentikan semburan lumpur tidak diambilkan dari kocek PT Lapindo Brantas, namun dari APBN! Sudah hampir Rp 4 triliun dana negara habis untuk penyelesaian kasus yang hingga kini masih menyesakkan masyarakat Sidoarjo itu. Padahal, menurut ahli geologi, tingkat kesulitan penanganan kasus Teluk Meksiko jauh lebih kompleks dan rumit karena lokasinya di tengah laut lepas. Kasus Lapindo berlangsung di daratan.

Terhadap Lapindo, negara sepertinya memberi ruang kompromistis serta tempat yang cukup layak secara politis kepada Aburizal Bakrie. Ini juga bisa dibaca dari sisi yang lain, betapa grup Bakrie itu terus menghampiri pusat gravitasi kekuasaan untuk membentengi berbagai kasus yang menimpa usaha yang dikendalikannya. Jalur politik yang dekat pastilah membawa dampak bagi relasi negara dan korporasi di bawah naungan grup Bakrie.

Kita juga bisa memberi perbandingan tentang keberanian para pemimpin: mana yang bertanggung jawab dan mana yang berkelit dari kasus yang mengancam kehidupan warga negara. Bahkan, di negara yang kita anggap paling liberal dan paling kapitalis sekalipun, perlindungan dan penciptaan rasa aman bagi warganya masih tetap menjadi prioritas. Merujuk pada prinsip dasar konstitusi dan dasar negara di republik ini, seharusnya kita lebih dari itu.

Kini bencana akan tetap mengancam tanah republik ini. Kita seperti hidup dalam undian dari geografi ring of fire. Beruntunglah kini solidaritas massa terus hidup, dari ranah yang terduga seperti solidaritas pasca-ruang dari dunia maya. Instrumental atau sejati, setidaknya solidaritas itu memberi harapan. Alangkah indahnya hidup, jika kekuasaan mampu menyelamatkan sebanyak mungkin harapan.

ADDE M WIRASENJAYA Esais dan pengajar di Jurusan HI Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com