Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kredo Mbah Maridjan

Kompas.com - 30/10/2010, 03:10 WIB

Fenomen Merapi ini menggenapi kredo bahwa waktu itu maju dan memuncak. Waktu tidak dapat kembali (irreversible).

Merapi yang bergelora, merapi yang digdaya meski kini meminta korban puluhan jiwa seakan menyeret kontemplasi manusia bahwa zaman sudah sampai pada usianya yang tua (zaman wis teka titi wanci tuwa). Manusia terus diburu waktu untuk bersegera memohon jawaban yang serba pasti (maneges).

Sementara, Mbah Maridjan dengan kredonya merespons seluruh alam ciptaan dengan menerima segala kemalangan bahkan kematian tanpa menyalahkan siapa pun, termasuk Tuhan. Manusia tidak layak mengutuk atau mengeluh, karena manusia sejatinya berasal dari abu dan akan kembali menjadi abu.

Budayawan Sindhunata menulis dalam buku Petruk Jadi Raja, bahwa Gunung Merapi bisa memuntahkan api yang menghanguskan dan mematikan manusia. Namun, Gunung Merapi memberi hidup dan rejeki berupa pasir dan tanah subur. Dalam air dan api, ada berkah sekaligus malapetaka.

Kalau manusia mau menerima rejeki yang diberikan oleh air dan api, ia dituntut sanggup hidup dalam resiko karena air dan api. Menolak hidup dalam resiko membuat manusia menjadi pemarah, pengeluh, pengutuk dan tak mau bertanggung jawab. Inilah kredo Mbah Maridjan.

Ketika merespons tentang bencana banjir dan longsor di mana-mana akibat ulah manusia, ia mengatakan, ”Meski diberi sebanyak apa pun, manusia akan merasa kekurangan karena kekurangan itulah kebutuhan manusia”.

Ia menulis dalam jejaring sosial facebook, "Mbah masih merasa kerasan tinggal di Dusun Kinahrejo Cangkringan Sleman Yogyakarta, sambil berdoa kepada Yang Maha Kuasa. Bagi yg sudah diminta pemerentah untuk mengungsi, mbok ya patuh ya... Mohon dengan sanget."

Saat Gunung Merapi berubah status menjadi awas pada 25 Oktober 2010, Mbah Maridjan pun menolak mengungsi. “Lha saya di sini (di rumah) kerasan. Nanti kalau ada tamu ke sini malah kecele kalau saya pergi,” kata Mbah Maridjan saat ditemui di kediamannya.

Ia memegang teguh tanggungjawab sebagai juru kunci dari Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Setiap Gunung Merapi akan meletus, warga setempat selalu menunggu komando dari beliau untuk mengungsi. Mbah mulai menjabat sebagai wakil juru kunci pada tahun 1970. Jabatan sebagai juru kunci lalu ia sandang sejak tahun 1982.

Ketika Gunung Merapi meletus pada 2006, imbauan pemerintah daerah dan bujukan aparat keamanan agar Mbah Maridjan turun mengungsi tak dihiraukan. Bahkan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono X telah mengatakan agar perintah pemerintah dipatuhi.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com