Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Jugun Ianfu" Belum Selesai

Kompas.com - 29/10/2010, 04:15 WIB

”Selain ’comfort station’ resmi, juga ada tempat prostitusi paksa tak resmi. Korbannya anak usia 11 tahun sampai ibu rumah tangga,” ujar Hilde Janssen, wartawan Algemeen Dagblad, Belanda, yang mendokumentasikan kisah para penyintas.

Tarik menarik antara kelompok ultranasionalis konservatif dengan kelompok progresif terus terjadi di Jepang. Pada 2 Maret 2007 Perdana Menteri Shinzo Abe menolak tuduhan militer Jepang memaksa sekitar 200.000 perempuan di Asia-Pasifik jadi budak seks selama PD II. ”Tak ada bukti adanya paksaan terhadap mereka,” tegas dia.

Para ahli hukum kelompok kanan konservatif Partai Demokrat Liberal (LDP) juga merevisi permintaan maaf Sekretaris Kabinet Yohei Kono, Agustus 1993, kepada para penyintas. Pernyataan Abe langsung menyulut reaksi negara-negara Asia dan Barat. Editorial New York Times (6/3) menyatakan, ”Tidak ada prostitusi komersial saat itu. Yang terjadi adalah pemaksaan.”

Tekanan Barat tampaknya membuat Abe menarik pernyataannya pada 26 Maret 2007. Ia menyatakan keprihatinannya atas pelanggaran hak asasi manusia oleh militer Jepang terkait kasus perbudakan seksual dan mendukung pernyataan Kono.

Bersamaan dengan itu, mantan Menteri Pendidikan Nariaki Nakayama menyatakan, LDP berhasil memasukkan referensi ”perbudakan seksual dalam perang” dalam buku pelajaran sejarah sekolah menengah pertama. ”Kampanye kami berhasil dan orang-orang mulai bersuara,” ujarnya, menolak istilah comfort women.

Berlanjut

Pada tahun 2007 Mike Honda dari Dewan Perwakilan Rakyat AS mengusulkan House Resolution (HR) 121 dan disahkan 26 April 2007. HR 121 menyatakan, Jepang harus mengakui, meminta maaf, dan menerima tanggung jawab sejarah secara jernih dan terbuka, tak lagi menolak isu comfort women serta mendidik generasi sekarang dan yang akan datang tentang hal ini.

Menurut Honda, resolusi itu tidak dimaksudkan mempermalukan Jepang. Namun, Kedutaan Besar Jepang di AS menyatakan, resolusi itu bisa mengganggu persahabatan AS-Jepang. HR 121 didukung resolusi serupa di Belanda, Kanada, Parlemen Uni Eropa, dan Inggris.

Di luar itu, menurut Eka, aktivis Korea mengumpulkan 500.000 tanda tangan dan 1,2 juta tanda tangan oleh aktivis Jepang, untuk diserahkan ke Parlemen Jepang, November 2010. Pada Maret 2010 terbentuk Koalisi Parlemen Korea-Jepang yang membentuk komite untuk menyelesaikan masalah ianfu.

”Asian Women’s Fund (AWF) tidak menyelesaikan apa pun dalam kasus ini,” tegas Eka, menguatkan pernyataan Hilde Janssen. Sebagai catatan, Pemerintah Indonesia bungkam setelah menerima 380 juta yen dari AWF tahun 1997. (MH)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com