Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mbah Maridjan, Transformasi "Islam-Jawa"

Kompas.com - 29/10/2010, 03:51 WIB

Mbah Maridjan boleh dibilang salah satu pelaku fenomenal dalam transformasi teologis ”Islam-Jawa”. Kesejarahannya bisa ditarik benang merahnya dengan kesejarahan Wali Sanga.

Hubungan eksistensial Mbah Maridjan dengan Gunung Merapi bisa dirunut dalam proses perubahan kosmologi Jawa sejak zaman kerajaan-kerajaan Jawa sebelum abad ke-10 Masehi. Pada Mataram pertama yang berkedudukan di Yogyakarta sampai Kadiri, Singasari, dan Majapahit di Jawa Timur, secara kosmologis kehidupan itu dibagi dua, yaitu adanya jagat atas dan jagat bawah.

Menurut antropolog dari Universitas Negeri Malang, Dwi Cahyono, jagat atas adalah tempat para dewa yang digambarkan terletak di atas gunung. Maka banyak gunung, terutama yang aktif, yang dikeramatkan, seperti Merapi, Semeru, Kelud, dan Bromo. Sementara jagat bawah berada di lembah yang ditempati manusia.

Kewajiban manusia adalah menjaga harmonisasi jagat bawah dengan jagat atas. Untuk itulah dibangun tempat-tempat suci dan secara periodik diselenggarakan ritual. Misalnya, keberadaan Candi Prambanan sebagai tempat suci ritual puja terhadap jagat atas di Gunung Merapi. Candi Penataran di Blitar, Jawa Timur, yang dibangun dalam tiga dinasti (Kadiri, Singasari, Majapahit) adalah tempat ritual puja terhadap jagat atas di Gunung Kelud. Candi Jago di Malang, Jawa Timur, untuk tempat puja jagat atas di Gunung Semeru.

Salah satu ritual yang masih lestari sampai sekarang adalah ritual Kasada yang dihelat masyarakat subkultur Tengger di Gunung Bromo.

Sejalan dengan melemahnya pengaruh Hindu, konsep kosmologi Jawa mengalami perubahan di mana konsep jagat atas tempat dewa diganti menjadi tempat ”Sing Mbaureksa” yang artinya yang berkuasa. Konsep sosok ”Sing Mbaureksa” ini tidak begitu jelas. Hanya dipersepsi sebagai ruh atau makhluk gaib, tetapi bukan dewa, bukan jin atau malaikat. Manusia berkewajiban menjaga harmonisasi dengan ”Sing Mbaureksa” tersebut demi keselamatan dan kemaslahatan umat manusia.

Sujud

Dengan diangkat menjadi juru kunci Merapi, keberadaan Mbah Maridjan (83) adalah menjadi ujung tombak atau tokoh kunci terpeliharanya harmonisasi Keraton Yogyakarta (jagat bawah) dengan Merapi (jagat atas).

Bagi Mbah Maridjan, konsep ”Sing Mbaureksa” Merapi adalah Tuhan. Hal itu tecermin dari doa-doanya yang hanya ditujukan kepada Tuhan sebagai Sang Maha Selamat (al-Salam). Jasad Mbah Maridjan yang ditemukan dalam posisi sujud menjadi bukti bahwa dia melakukan ritual secara Islam.

Masalah tempat sujudnya di kamar mandi harus dilihat dalam konteks darurat. Dalam situasi normal, sujud di kamar mandi jelas dilarang Islam.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com