Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Belenggu "Dunungan"

Kompas.com - 16/10/2010, 16:07 WIB

Ketabuan untuk menentang dunungan diperkuat oleh peribahasa yang berbunyi ngijing sila bengkok sinembah yang berarti melawan dunungan dan dikategorikan sebagai perbuatan tidak terpuji. Maka, profil para Presiden RI yang dipaparkan Iip D Yahya dalam artikel "Urang Sunda Menjadi Presiden, Apa Mungkin?" (Kompas Jawa Barat, 29/09), menunjukkan bahwa mereka sebenarnya menganggap masyarakat Sunda memiliki loyalitas tinggi kepada dunungan.

Memberontak "dunungan"

Respons terhadap belenggu dunungan dalam dunia sastra mulai muncul ketika sastrawan Godi Suwarna menghadirkan cerpen-cerpen Sunda eksentrik. Dalam majalah Mangle nomor 677 tahun 1979, Godi menulis cerpen Uwak-awik. Dalam cerpen tersebut Godi menceritakan pemberontakan wayang golek yang sudah sekian lama diperbudak dalang, yang kemudian mengakibatkan peperangan antara wayang dan dalang.

Adapun reformasi dalam rumpaka lagu Sunda mulai terasa ketika muncul kawih kreasi anyar karya Mang Koko. Dalam rumpaka kawih Mang Koko kata dunungan mulai ditinggalkan. Terlebih ketika Mang Koko memusikalisasi sajak-sajak karya sastrawan Sunda, semisal Wahyu Wibisana, RAF, Winarya Art, dan Dedy Windiagiri.

Hal itu lebih terasa ketika muncul lagu-lagu pop Sunda karya Doel Sumbang. Tidak ada lagi ketakutan yang berlebihan kepada dunungan. Dalam beberapa lagunya, Doel secara terang-terangan "menggugat" dunungan yang dianggap tidak adil. Dalam lagunya, Doel tanpa ragu memarahi dokter, polisi, dan wali kota yang tidak memerhatikan rakyat kecil. Kalau perlu, memaki-maki dengan kata-kata bebel siah.

Mengubah impian

Jika Asep Salahudin begitu percaya akan kekuatan bahasa, sebagaimana dalam artikelnya yang berjudul "Hasrat Utopia Presiden Sunda" (Kompas Jabar, 7/10), tentu Kang Asep pun akan percaya pada kekuatan harapan dan cita-cita, atau sebut saja impian. Mari kita simak cuplikan cerpen Sunda karya Dian Hendrayana yang berjudul "Pucuk-pucuk Baluas" (cerpen terpilih Mangle November 2004). "Emh, engkang. Sing lungsur-langsar neang milik di Jakarta. Dibabarikeun neang rejeki nu halal. Dipiasih ku dunungan". Itulah impian urang Sunda: dipikanyaah dunungan.

Impian tersebut menjadi salah satu penyebab sulitnya urang Sunda menjadi presiden. Apalagi, kalau kita sepakat kepada Eleanor D Roosevelt (1884-1962) yang mengatakan bahwa masa depan adalah milik orang-orang yang memercayai keindahan mimpi mereka. Jika impiannya dipikanyaah dunungan, tentu saja akan sulit menjadi dunungan.

Sampai hari ini masih banyak orang Sunda yang berharap agar anak, adik, atau suaminya dipikanyaah dunungan. Para peziarah di makam keramat pun banyak yang curhat kepada kuncen bahwa ia ingin dipikanyaah dunungan. Jarang ada orang Sunda yang mengungkapkan sing jadi dunungan.

Jadi, percuma menambah uga seperti yang disarankan Mang Jamal dalam tulisannya, "Urang Sunda Jadi Presiden" (Kompas Jabar, 18/9), jika impiannya hanya sekadar dipikanyaah dunungan. Yang lebih penting adalah mengubah harapan, dari sing dipikanyaah ku dunungan menjadi sing jadi dunungan. Lalu, meminjam kata-kata Mario Teguh, perhatikan apa yang terjadi!

DHIPA GALUH PURBA Ketua Harian Jendela Seni Bandung

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com