Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Belenggu "Dunungan"

Kompas.com - 16/10/2010, 16:07 WIB

Oleh Dhipa Galuh Purba

Orang Sunda menyebut atasan dengan dunungan. Presiden adalah dunungan di lembaga eksekutif. Namun, pada realitasnya saat ini, tampaknya presiden pun sekaligus menjadi dunungan dari lembaga legislatif dan yudikatif. Sebab, Susilo Bambang Yudhoyono merupakan dunungan dari ketua DPR di partainya. Wajar jika ketua DPR senantiasa bersikap sumuhun dawuh pada setiap kebijakan presiden.

Dunungan harus dikawulaan oleh para kula. Dalam Kamus Basa Sunda karya RA Danadibrata, terdapat dua arti kata kula. Pertama, menunjukkan orang yang mudah diatur atau disuruh oleh sang dunungan. Kedua, menjadi kata ganti orang pertama, sama halnya dengan kuring, aing, dan sebagainya. Ngawulaan atau mengabdi kepada dunungan bukanlah hal negatif.

Akan tetapi, sikap selalu sumuhun dawuh jelas menunjukkan kepribadian buruk dan sudah layak disebut tukang leletak (penjilat). Sebab, sikap sumuhun dawuh sangat subyektif. Ia akan menuruti semua yang diinginkan dunungan sekalipun dalam pandangannya dianggap keliru. ABC, asal bapak cuka.

Karuhun Sunda tidak bermental ABC. Mari kita menengok masa keemasan kerajaan Sunda Galuh. Saat itu sang papayung agung begitu pantang bersikap sumuhun dawuh pada kerajaan lain, termasuk kerajaan sekuat Majapahit. Sunda Galuh cadu untuk takluk pada Majapahit. Itu sebabnya, Gadjah Mada, panglima perang Majapahit, menghalalkan berbagai cara untuk membuat Sunda Galuh bertekuk lutut.

Namun, dalam situasi terdesak di Bubat pun Maharaja Linggabuana tetap pantang menghaturkan upeti kepada Hayam Wuruk. Apalagi, upetinya adalah kembang keraton, Putri Citraresmi Dyah Pitaloka. Kisah inilah yang sesungguhnya merupakan pesan bagi urang Sunda, bahwa dalam kondisi apa pun, jati diri apalagi harga diri tidak bisa dibeli.

Maka, cukup mengherankan jika selanjutnya urang Sunda justru sangat doyan bahkan terkesan mengistimewakan dunungan. Simak saja rumpaka lagu Sunda, terutama tembang Cianjuran, yang di antaranya banyak menyelipkan kata dunungan. Misalnya, ka saha abdi nya ngabdi, mun dunungan rek ninggalkeun dalam "Papatet" yang rumpaka-nya ditulis Ibu Iloh Safe'i, atau pikasediheun dunungan ku harianeun dalam "Ngabungbang" yang ditulis Mang Engkos.

Bahkan dalam lagu "Es Lilin" pun masih terselip kata dunungan, seperti dalam bait Itu saha dunungan nu nungtun munding/digantelan geuning ku saputangan/itu saha dunungan ku ginding teuing/sing horeng mah aduh geuning jungjunan...

Dalam rumpaka tersebut biasanya dunungan mendapatkan posisi yang sangat istimewa. Ada rumpaka yang sekadar berinteraksi dengan dunungan dan ada pula yang khusus dihaturkan untuk dunungan. Selain itu, jejak penghormatan urang Sunda kepada dunungan dapat disimak dalam sajak, cerpen, novel, dan drama Sunda.

Dalam novel pertama di Indonesia, Baruang ka nu Ngarora karya DK Ardiwinata (Bale Pustaka, 1914), misalnya, tampak begitu jelas sikap hormat dan ketakutan masyarakat kepada Aom Usman yang anak bupati meski ia menjadi tokoh antagonis penghancur rumah tangga Ujang Kusen dengan Nyi Rapiah. Bahkan pengarangnya tidak berani memvonis Aom Usman. Yang akhirnya begitu menderita justru Ujang Kusen, yang istrinya direbut Aom Usman.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com