Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tidak Sedang Menunggu Godot

Kompas.com - 15/10/2010, 08:21 WIB

Oleh ARIS PRASETYO

Korban semburan lumpur Lapindo, Sidoarjo, itu tetap setia. Sudah hampir 60 hari mereka tinggal di halaman depan kantor DPRD Sidoarjo. Berteduh di bawah tenda dari kain terpal.

Mereka sedang menunggu pemenuhan hak-haknya sebagai korban lumpur. Mereka bukan sedang menunggu Godot.

Godot adalah nama sebuah tokoh fiktif dalam pementasan drama karya Samuel Beckett dari Irlandia pada tahun 1952. Secara ringkas, Godot sedang ditunggu-tunggu oleh dua sahabat bernama Vladimir dan Estragon. Namun, kedua sahabat itu sejatinya tidak tahu siapa Godot dan untuk apa mereka menunggu. Sambil menunggu Godot yang tidak jelas dan tidak pasti itu, keduanya kerap ribut dan bertengkar.

Keributan itu adalah bagaimana cara menyambut Godot, mencarinya, dan apa yang bakal diucapkan pertama kali jika bertemu Godot. Akan tetapi, di antara mereka tidak pernah ada kata sepakat dan saling menyalahkan. Bahkan, sampai dua sahabat itu beruban dan meninggal dunia, mereka belum tahu kapan dan siapa Godot yang ditunggu itu akan tiba.

Godot akhirnya hanya menjadi sebuah nama yang tak jelas siapa dan untuk apa ditunggu-tunggu. Kapan ia akan datang menjelang? Tidak jelas.

Senasib dengan dua tokoh di atas, korban semburan lumpur Lapindo juga tengah menunggu. Yang mereka tunggu adalah hak mereka sebagai korban semburan lumpur. Hak-hak itu sudah jelas tertuang dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2007 tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS). Tidak seperti dua tokoh itu, yang ditunggu-tunggu korban lumpur jelas, yaitu pemenuhan janji-janji atas hak mereka.

Hak korban antara lain menerima pembayaran uang muka 20 persen atas tanah dan bangunan mereka yang terendam luapan lumpur. Sisanya, sebesar 80 persen, dibayarkan paling lambat sebulan sebelum masa kontrak rumah dua tahun habis. Jatuh tempo pembayaran 80 persen terjadi pada September 2008. Adapun pihak yang bertanggung jawab terhadap pembayaran itu adalah PT Minarak Lapindo Jaya, anak perusahaan Lapindo Brantas Inc.

Namun, tidak sepenuhnya hak-hak mereka terbayarkan. Sampai kini, sisa pembayaran 80 persen tersendat.

Menurut Muhammad Zainal Arifin (45), perwakilan korban lumpur yang menginap di depan kantor DPRD Sidoarjo, aturan sudah teramat jelas, yaitu Perpres Nomor 14 Tahun 2007. Di situ sudah tertulis siapa yang harus bertanggung jawab menunaikan kewajibannya terhadap korban lumpur dengan skema yang sudah ditentukan. Ia heran kenapa setelah terjadi ketidaksesuaian antara fakta di lapangan dengan isi Perpres, tidak tindakan apa pun dari wakil rakyat dan pemerintah daerah, apalagi Presiden.

”Kami akan menunggu di sini sampai hak-hak kami diberikan. Apa salahnya jika kami menuntut apa yang menjadi hak kami? Kehadiran kami di sini hanya untuk meminta perhatian anggota Dewan dan pemerintah kami (bupati). Kami rakyat mereka. Kami sangat butuh bantuan mereka untuk menyelesaikan persoalan ini,” ucap Arifin.

Namun, jangankan bantuan, anggota DPRD belum sekalipun mendatangi mereka dan mengajak bicara untuk menyelesaikan permasalahan. Bahkan, warga yang harus ‘memaksa’ masuk untuk bisa berbicara dengan anggota DPRD mengadukan nasib. Sayangnya, jawaban yang mereka dapat hanyalah diminta menunggu dan bersabar dan bersabar terus.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com