pada suatu ketika
aku memang menghikmati nafasmu yang tak memburu di lantai ulin kamar tamu saat siang tempat guring saat malam
kita tak merencanakan cinta tapi matamu melebihi buluh perindu yang kuangankan ada dalam gelas yang kausajikan untukku
”inilah gadis senja yang merana terpikul kegundahan yang lama kata mengalir di dada lembutnya menebar spora, lembar cinta”*)
o, jangan merana bukankah rembulan pun memilihmu —kuingat waktu itu kita seperjalanan antara samarinda-bontang dan rembulan sedang teramat terang melumat wajahmu sepenuh cemburu dengan sesekali mengintai di bukit dan sembunyi di balik dahan—
di lantai ulin kita tak merencanakan cinta kerana ia tiba-tiba
sebagaimana pada suatu ketika kita tiba-tiba bisa bersama menyaksikan belian di desa jahab di sudut kotaraja kutai kertanegara —ceritamu, kakek dari mama dahulu seorang dukun belian juga—
dan kau bercanda ”datangi ia tidur di depan tariannya mintalah disembuhkan dari penyakit cinta”
aku berkerut oleh candamu tapi tak ragu-ragu ”seperti belian cinta memiliki kekuatan”
pada suatu ketika