Mendirikan Malam 1
aku yang pertama mendengar dendang dinda pada malam yang kita ingat ia pernah dibagi tiga
ini mungkin pada sepertiga yang kedua saat jam beranjak dari angka kosongnya aku mengaduk tasawuf akhlaq di dalam tiris nafasmu yang membasahi ceruk rindu
kemarilah kubisiki, sayang ada hasrat berundan-undan semizan syariat seribu bulan
ini mungkin pada sepertiga yang terakhir kuseduh dzikir kuramu syi’ir di palung mahabbahmu
di palung mahabbahmu laut asin mengingatkanku pada khidzir aku berjanji aku tidak akan banyak bertanya padamu senyampang malam saat kita sepakat melubangi sampan
kemarilah sayang, kubisiki
Mendirikan Malam 2
aku meminangmu untuk menjadi ‘aisyah sehabis khadijah
o sayangku, yang kemerah-merahan tertunduk diam
kita menghitung detak jam derit daun pintu dan desah yang disapukan
kita merundingkan bilangan raka’at di sepertiga terakhir malam dan dengan manja engkau menawar bilangan dzurriyyat melebihi ’aisyah melebihi khadijah sepadan angan
o kurasa aku ingin memukulmu bertubi-tubi menggemaskan
The Spirit of Mecca --kutandai, inilah ranah sufi
di kota tempat kita menangkar asmara aku berhasil mengukur kerudungmu yang lebar mengukur rahasia
aku melamunkan kiswah dan hitam hajar aku melamunkan hatimu yang sejak dari ruknul yamani sudah kuincar
inilah ranah sufi bisikku pada gamismu yang besar saat hujan membuat sadar ada syahdu datang berdenyar
(saat itu aku teringat pada sejarah di kota haram gerimis pun jarang tumpah)
ssst, ini rahasia ”aku menemukan marwah” ”aku menemukan mar-ah” lihatlah kepalaku tersungkur di jabal nur di jabal rahmah
dan di ghari hira inilah
Pengantin (1)
aku gemas pada hud hud yang gemetar mengabarkan pesonamu
aku gemas pada pemilik ilmu yang berhasil menyatakan singgasana kecantikanmu lebih cepat dari kedip bola mataku
dan aku lebih gemas padamu kerana engkau 'lah sudi mengunjungi relung istanaku
maka kutawarkan lantai hati yang sejernih kolam sehingga betis asmaramu tersingkap
Pengantin (2)
aku memang merencanakanmu menjadi zulaikha
dan saat itu aku ingin gamisku sobek di bagian depannya di bagian belakangnya
sehingga kita tak perlu merekayasa perjamuan agar jemari orang-orang teriris pisau menyaksikan syahwat yang tampan
Tektonik
makinlah rinduku pada laut manakala kauceritakan gesekan lempeng bumi dan ombak kasihmu saat itu aku terbiasa bermain buih di pantai yang asin
“aku menelan ikan kubuat tersesat di lubuk gelap” senyummu menyelesaikan cerita antara terpejam mata
lalu kurasa keringat tetes, meresap ke tanah yang bergetar ke episentrum
“besok lagi jangan lupa menjenguk laut”
Rumah
kurasakan hangat dadamu hangat dada fatimah karena kisahku menyerupai bocah yang berlumuran darah melintasi gurun menyeberangi fitnah
o, sapukan nafasmu segairah nafas ummil bathul karena aku tak ingin tersungkur seperti ‘ali, sehabis sahur
mari bersaksi akulah syahid engkau syahidah tanpa ditikam belati tanpa luka hati
dan kita menjadi tuan dan puan bagi sejarah melahirkan bocah-bocah tanpa racun tanpa tombak tanpa pedang tanpa segurat lelah
Di Lantai Ulin
pada suatu ketika
aku memang menghikmati nafasmu yang tak memburu di lantai ulin kamar tamu saat siang tempat guring saat malam
kita tak merencanakan cinta tapi matamu melebihi buluh perindu yang kuangankan ada dalam gelas yang kausajikan untukku
”inilah gadis senja yang merana terpikul kegundahan yang lama kata mengalir di dada lembutnya menebar spora, lembar cinta”*)
o, jangan merana bukankah rembulan pun memilihmu —kuingat waktu itu kita seperjalanan antara samarinda-bontang dan rembulan sedang teramat terang melumat wajahmu sepenuh cemburu dengan sesekali mengintai di bukit dan sembunyi di balik dahan—
di lantai ulin kita tak merencanakan cinta kerana ia tiba-tiba
sebagaimana pada suatu ketika kita tiba-tiba bisa bersama menyaksikan belian di desa jahab di sudut kotaraja kutai kertanegara —ceritamu, kakek dari mama dahulu seorang dukun belian juga—
dan kau bercanda ”datangi ia tidur di depan tariannya mintalah disembuhkan dari penyakit cinta”
aku berkerut oleh candamu tapi tak ragu-ragu ”seperti belian cinta memiliki kekuatan”
pada suatu ketika
___ *) penggalan bait puisi ”Gadis Senja” Fitriani Um Salva belian: upacara penyembuhan dalam tradisi orang Dayak guring: tidur (bahasa Banjar)
Kembali
jika aku pantas menuai bahgia ini izinkan aku kembali
dan kusadap rahsia waktu yang tlah merapuhkan egoku di hadapan pesonamu
dan seperti segarnya pagi kuasyiki keceriaan rona fitri
Ramadhan
kupercaya hadirmu memperbesar kemungkinan luruhnya angkuh redamnya dendam
dan bersama waktu egoku rapuh leh pesonamu ramadhan
Hikayat Perahu Sampan --esti
kau menggali lukaku sedalam kenangan sungai
aku dengan perahu sampanku pernah sangat setia menyibak riak menyisir nostalgia kala angin semilir atau kencang kala mentari hangat atau menyengat dan air pasang dan air surut
begitulah terlalu aku menyanjung sampan menggauli tanjung
kerana bagiku riwayat sungai dan ketenangan amatlah berarti
tapi kenapa kau menggali lukaku sedalam kenangan sungai
Bulan
intiplah bulan itu, ukhti kerana ia tersenyum saat kurangkum dalamnya dekap
dan kau mulai bercerita dengan ceria tentang tempat yang purnama bisa makin ada makna “di kotaku” katamu ya, di kotamu di tubuh kotamu di tubuhmu
dan tidakkah kaulihat aku sudah mulai membuka pintu menatap kota menatap tubuh kota menatap tubuhmu
“ada makna” kataku dan kau tersenyum bersama bulan yang terlihat dan dalamnya dekap ya
Habiba dan Pencuri (1)
habiba, kucuri senyum kecilmu dari dalam keseronokan rumah yang mengunci sejarah dan mengemas dongeng sebelum tidur saat itu aku masih sering melucu mengangankan pintu kan mengurungku
habiba, aku telah meraba jendela saat kuhirup aroma bibir mempelai yang mengingatkanku pada hujan yang tak mungkin bisa ditahan
habiba, barangkali delik matamu tepat menghunjam di jantung sufiku tapi sempatkah kaukenal sederhananya angan pencuri?
Habiba dan Pencuri (2)
kau mengingatkanku pada mimpi yang urung kutafsirkan kemarin malam
begitulah, setiap kuselidik bibirmu dengan lukisan tipis dari air ilmu aku tergetar untuk memungut kembali khasanah nafsu yang pernah kusimpan di guci waktu
Sketsa Gempa Sketsa Keluarga (1)
zaujati, inikah rumah kita? dinding batu runtuh meja tamu tak lagi utuh
inikah ranjang yang kemarin? hilang tanda rindu berpagut
Sketsa Gempa Sketsa Keluarga (2)
ayah aku dihantui guruh batu dan kabut debu
saat itu aku merasakan hati ibu
ayah ambilkan buku catatanku di bawah reruntuh dinding dan pintu
saat itu hadirmu sangat berarti bagiku
Sketsa Gempa Sketsa Keluarga (3)
aku akan membangun rumah baru kelak kautahu rumah yang kaurobohkan dahulu menyibak pondasi rindu
Perawan Lamin 1 --anna bell
mungkin kauherankan sugunku ketika kumasuki lamin dan kusaksikan engkau menari menari mengumpulkan mimpi
aku tertegun pada peluh yang kausangkal dapat meneguhkan syahwatku
dan sementara geliat tubuhmu mengetuk-ngetuk lantai aku tegak dalam syahwat dalam sugun
___ lamin: rumah panjang orang Dayak
Perawan Lamin 2
kupanggil saja kamu anna tapi kamu memang manis duduk di sisi lamin menyorongkan manik-manik hati
aku terpedaya tak kuasa menawar harga rindu aduh
kupanggil saja kamu anna kerana aku ingin melihatmu menari mengepakkan lengan menyibakkan kaki
aku silap tak kuasa menjinjing angau aduh
Eusideroxylon Zwageri
mengapa harus iri pada eusideroxylon zwageri sedang senyum yang pernah kaugenitkan pada sufi kian menguat oleh hujan dan terik mentari
ini tentu bukan mimpi saat kusentuh tangga lamin yang bahari aku telah belajar menakik hati dan kupastikan sesaat lagi rambutmu menyibak menggerai kerana aku mulai mendaki
___ eusideroxylon zwageri: ulin
Enggang
“bucaros rhinoceros ngangkasa nerobos eros”
biarkan aku terus menyanjungmu, puteri dan kuselipkan bulu enggang di sisi kiri engkau tahu dan harus tahu dalam bujukan metafisika yang jalang aku selalu saja kembali merasa lajang
___ bucaros rhineceros: burung enggang
Bar
kerana malam memaksa kita menghormati perjamuan maka kupilih lampion dan piala sebagai menu pembuka
dan senyummu terasa mahal jatuh di meja bar
dan matamu menyipit menyisir cara kerjaku yang rumit sebagai pramusaji yang mengasong cawan smara
“cawan smara” katamu pada akhirnya
Sebangau
betapapun aku paham tanah ini orang selalu saja keji memilirkan kayu memilirkan hati Makrifat Sungai
aku berkapal, sepagi tadi sesiang ini menyusuri sungai dan kupastikan bahwa aku tidak pernah melupakanmu
dari dek ini kutangkap aurat tepian yang menjaga genit perawan mandi berkain basah berhati basah
amboi aku kembali memastikan bahwa syahwatku telah basah oleh sebab mengintipmu di sungai
Makrifat Sungai 2
seumpama perawan engkau berhasil merampas kelaminku
(di sini di tepi mahakam kutanggalkan seluruh pakaian dan seumpama lelaki aku bersampan)
ah perawan sembunyikanlah pakaianku Laki
lakiku bertiang ulin merawat tubuh dari aurat tahun yeng menyampah di perairan di tanah
dalam hitungan waktu lakiku menyusun rindu selaiknya perahu
dalam balutan waktu lakiku berkahwin cemas bahwa di seberang kalender debit sungai akan menipis dan pasang laut mengasinkan mulut
saat itu sesiapa pun akan rapuh oleh takut oleh mimpi yang menubuh
tapi memang lakiku bertiang ulin tak terjangkau marah sungai sebab ia menjangkau cumbu sungai
Samarinda
la mohang daeng mangkona melaksanakan titah sultan kutai sambil menata adat bugis
“orang bugis orang kutai sama rendah sama semampai”
dan simaklah jilatan sungai terlalu bergairah mencumbu lamin mengawini tanah
dan jika saatnya nanti anak turun pua ado mendirikan masjid orang kutai menyusun empat tiangnya
“orang bugis orang kutai sama-sama menjunjung agama”
lalu siapa yang akan mulai berani menjual rumah ibadah meninggikan atap instansi sembari merendahkan sejarah?
Panji Selaten
adil raja karena desanya lalim raja karena desanya adil desa karena rajanya lalim desa karena rajanya
karena itu raja haruslah menurut mufakat sekaligus tiang mufakat
begitulah asal sememangnya walaupun pada nantinya banyak raja mengarang mufakat sekaligus membuang mufakat
Awang Long awang long ditemani laskar melayu ditemani pasukan dayak ditemani laskar bugis menari di sungai
“nanda senopati tahukah engkau hikmah negeri?”
pada coklat air kali perempuan-perempuan rajin mandi dan desamu berseri-seri
tapi pada coklatnya juga engkau tahu kapal musuh lengkap bertentara
“nanda senopati tahukah engkau hikmah air kali?”
awang long di sungai bukan senopati
Makrifat Acheh 1
ada yang mendekatkanku padamu seperti cinta mendekatkan pengantin
ada yang mendekatkanku padamu aroma mayat mendegupkan tari sufiku meneguhkan fani tubuhku
Makrifat Acheh 2
kucemburukan kematian yang memesona yang mengejutkan religiusitas yang menghentakkan moralitas
“sejauh manakah kaufahami ujian dan derita sampai kaukatakan bahwa kau berperikemanusiaan sejauh manakah kaualami ujian dan derita sampai kaukatakan bahwa kau telah beriman?”
allah betapa dungu religiusitas kami betapa bebal moralitas kami jika masih saja menawar untuk mencinta sesama untuk tak menindas sesama
Makrifat Acheh 3
amboi tubuh-tubuh yang bergelimpangan kalian memahatkan kenangan anak yang kehilangan ibunya laki yang kehilangan perempuannya
sebagaimana lalu kami pahatkan kenangan pribadi tentang sufi yang kehilangan diri sendiri Acheh Nampar
ya hayyu ya qayyumu kalau hari ini tubuhku tercabik, bukan baru hari ini tubuhku tercabik kalau kali ini badanku terkorban, bukan baru kali ini badanku terkorban
tubuhku telah lama robek oleh keserakahan nafsu badanku telah lama menjadi korban pertarungan ambisi dan kuasa arunku, hutanku, kakaoku tak mampu lagi meronta dari luka orang-orang tak berdosaku tak kuasa lagi mengucap kata karena popor dan senjata terlalu cepat berbicara
setiap hari nyawa orang menjadi bahan mainan “buat apa sekolah, nanti juga mati di jalan ditembak orang mati tak dikenal”
amboi, betapa akrabnya aku dengan derita dan derita, kematian dan kematian ya hayyu akankah selamanya kaupilihkan bagiku jalan hidup yang seperti ini akankah hanya dengan coba semacam ini kautinggikan maqam imanku
setahunan lalu, pantai bireuen-ku dikejutkan dengan mayat-mayat terbungkus karung beras terdampar dihempas ombak (mereka adalah yang kaupilih menjadi saksi dari kebiadaban segelintir yang dibebalkan oleh nafsu kekuasaan)
hari ini, bukan hanya pantai-pantaiku, bahkan segenap sisi kota-kotaku jalan rayanya, selokannya, tanah lapangnya diratusribui hempasan mayat (mereka adalah yang kaumuliakan menjadi saksi dari kuasamu menampar kebebalan nafsu)
tahun-tahun lalu, bukit-bukitku, hutan-hutanku, sungai-sungaiku, laut-lautku menjadi saksi dari nyawa-nyawa yang selalu saja melayang tanpa nama kali ini, dalam sekejap saja, kembali harus kupersaksikan ratusan ribu nyawa melayang tanpa nama (kiranya merekalah syahidin yang ingin kau bergegas merengkuhnya dalam pelukmu)
kemarin dulu, di salah satu kampungku mayat muzakir abdullah tersampir+terikat di pohon lehernya tergorok darahnya menoreh di dada (al hallaj-kah dia dihantarkan segerombol orang bertopeng yang brutal menyiksanya tanpa salah dan dosa apa pun telah dilakukannya)
hari ini, beberapa mayat yang tak sempat menyebut nama tersampir di pohon-pohon di kota-kotaku, tubuhnya membeku biru (al hallaj-kah mereka berperantara ombak yang kaukirim untuk menjemput mereka hanyut kepadamu tanpa salah dan dosa yang menyisa)
ya hayyu betapa tingginya maqam mereka yang menghadapmu dengan seketika yang menghadapmu bersama-sama
ya qayyumu betapa rendahnya maqam yang lainnya yang masih saja tak tersentak hatinya yang masih saja bebal jiwanya menggenggam nafsu rendah menumpuk amarah mengumbar kuasa
ya hayyu ya qayyumu kupersembahkan tubuhku kepadamu moga kemudiannya kauselamatkan jiwaku dari murkamu
2004
____ catatan: 1. data tentang mayat-mayat terbungkus karung beras di pantai Bireuen dan Muzakir Abdullah yang disiksa dan diikat di pohon adalah diambil dari majalah acehkita edisi 15 januari 2004.
Tajau Pecah
ini pengajian tauhid “asal tajau dari tanah maka ia mudah pecah”
kami rindu perempuan mandi berkain basah di sungai yang masih luput dari sengketa
aku —bersama orang-orang yang tidak terlibat perang berebut tanah negeri— mencoba merawat rindu dan mengaji statistik
kami genggam sejumput bumi dengan nusea patriotik kami simpan untuk berkubur
___ tajau: genthong/tempayan Tajau Pecah: nama desa di pedalaman wilayah Kab. Tanah Laut, Kalsel
Tajau Mulia
ini pengajian tauhid “asal tajau dari tanah maka ia mulia”
kembali ke selera asal negeri tanpa birahi ekonomi orang banjar mengaji mandau orang madura mengaji badik orang jawa mengaji sabit
tapi tanah terlanjur tandus buat berladang dan kami tak punya saham buat birahi
maka buat memuliakan negeri kami membakar bukit
___ tajau: genthong/tempayan Tajau Mulia: nama desa di pedalaman wilayah Kab. Tanah Laut, Kalsel
Etnofotografi
sekerumun etnik mengasah pisau menaikkan panji
dan buku sejarah lapuk berdebu orang tidak membaca cara musa menjagal pemuda dan menggiring gembala (dengan lidah tidak sempurna ia berkata: ya bani israila)
sekerumun etnik mengasah pisau “kata koran, kawan kami ditikam orang di jalan raya”
sekerumun etnik menaikkan panji “seseorang menceramahi kami seseorang menafkahi kami”
sekerumun etnik sama sekali bukan etnik
Orang Kada Balampu
“kami tak pernah memuja mandau tak pernah menyanjung badik” orang kada balampu tertulis di kitab yaumiyah mengasuh lapar tanpa pernah punya pekerjaan menjarah penghasilan orang tanpa menghiraukan tanah asal orang kada balampu memulakan pertikaian bukan untuk bertikai asah badik cabut mandau bukan menyulut perang orang kada balampu tak membunuh madura banjar, dayak, bugis, jawa orang kada balampu semata membunuh manusia
___ kada balampu (bhs. Banjar: tidak berlampu): julukan bagi segerombolan perompak/tukang onar di Kalimantan
Aktivis Feminisme & Liberalisme
seorang syeikh diinterogasi oleh para aktivis liberalisme & feminisme karena ia dianggap melanggar HAM karena ia memaksakan cinta
tapi seorang syeikh takkan menginterogasi para aktivis liberalisme & feminisme meski mereka memaksakan HAM meski mereka melanggar cinta
(kita paham seorang syeikh tak mampu berbuat apa sebab para aktivis liberalisme & feminisme memiliki funding teramat kuatnya)
Fatima Mernissi
sesekali aku menjamah fatima mernissi ia paham syahwat lelaki
fatima mencari nafkah aku memperindah meja tamu dan malam datang ringkas setelah siang diperpanjang oleh etos kerja dan ilmu pasti
la raiba tanpa ragu kami pun saling menjamah
Fatima Zahra
perempuan di dalam masjid tak seorang pun mengalahkannya kecuali ruhul jihad
di sini siang malam terjahid perjuangan uraian dendam dan sahaja seorang ibu, ibu agama
nikmat air matanya mengukir sajadah sebagai pembalut kerja sebagai pembalut logika
perempuan di dalam masjid mengulum seluruh sejarah : melahirkan dua lelaki
la raiba dialah fatima dialah zahra
Catatan Negeri
1 tepatkah negara berduka ketika penguasa yang bijak menggusur perkampungan warga
lihatlah beberapa mayat bayi mengapung di sungai yang berbau limbah menguarkan kejelataan
2 aku bahkan tak sempat menangis jika ada gadis manis ditarik paksa petugas berseragam hingga sobek badan perempuan
3 hallo anybody home?
(tidak ada jawaban syahdan sufi sedang berganti pakaian)
Sufi dan Kepala Negara 1
seorang sufi menulis surat kepada kepala negara
wahai kepala negara aku ingin meringankan bebanmu memimpin rakyat
caranya: bunuhlah aku atas nama rakyat
Sufi dan Kepala Negara 2
jika pemimpin negeri menyuruhmu memikirkan negeri jawablah: akan kami penuhi
memikirkan negeri memanglah tugas para sufi sejak para pejabat dalam birokrasi tengah sibuk dengan diri sendiri
kemudian tanpa disuruh pun telah jatuh kewajiban kepada sufi memikirkan pemimpin negeri yang tak mampu memikirkan negeri
Intelektual dan Sejarah
sempatkan dirimu untuk memikirkan negeri ini sebagaimana engkau memikirkan budi dan hati
(kulihat engkau mulai menulis sebuku epos atau sebait puisi tentang keraguanmu kepada negeri ini dan keraguan negeri ini kepada budi dan hati)
dan sebagaimana engkau meragukan negeri ini negeri ini pun meragukan tulisanmu
Sufi, Tuhan, Pejabat Negara, Tentara Bersenjata
sebelum sufi mengenal tuhan ia takut kepada pejabat negara ia takut kepada tentara bersenjata
setelah sufi mengenal tuhan ia takut menjadi pejabat negara ia takut menjadi tentara bersenjata
Warga Negara
aku berdoa untuk halaqahku sebelum salam sampai “beri kami kekuatan untuk bayar pajak dari tubuh kami yang renta bagi pejabat yang bijak mengelola kekayaan negara”
aduh aku lupa tidak berdoa untuk halaqahku “beri kami kekuatan untuk menjadi warga negara”
Al Hallaj
1 aku berkabar pada tuan bahwa cinta memabukkan
sehingga aku terpesona pada penindasan kemanusiaan
2 jangan mencari tahu sebab kemurtadanku (aku murtad setelah imanku dibunuh)
jangan mencari tahu siapa pembunuhku (aku tetap hidup bersama fatwa dan kata-kata)
jangan mencari tahu rahasia kata-kata (aku memberi minum orang yang haus aku memberi makan orang yang lapar)
3 saksikan aku melepas jubah sufi kugantung bersama syahwat kemiskinan orang yang tertekan kesengsaraan orang yang terlibas
aku tidak berpihak pada sultan dan tuhan
The End of Capitality
lagi-lagi aku ditampar oleh logika kapitalisme
seorang kawan ingin berkonsultasi tentang rindu ia mendatangi banyak syeikh dan tak pernah bisa bertemu
pada puncak pencariannya ia berkabar “bila kau tidak bisa menemu seorang syeikh belilah seorang syeikh”
kemudian kawanku tidak pernah lagi sakit rindu
Toko Buku vs Kota
seseorang sebab asa ketuhanan mendengkur di sudut teka-teki referensi-referensi glamour
ini kotaku terbaca oleh atlas kumal beberapa ruasnya menyisa tembok tua yang mengelupas berberita sejarah pemikiran kaum selebriti urban yang etis dan pendendam
dari sebelah labirin rak selembar kertas tanggal dan terlempar tepat di traffic light lampu kuning amsal dinamika kota dalam percepatan komunikasi dan silaturahmi seluleri tidak hidup tapi hidup
(aku membuka literatur kaidah fiqhiyah yang rumit)
sore berselimut asap dan oktan dan suatu bacaan perihal seks yang nyinyir atau politik yang slapstik memerdekakan imajinasiku berkhalwat dengan hantu
wahai siapa membuka pintu tasawuf siapa memuja pagar demokrasi siapa berbekal ilmu transaksi meneror inspirasi laki-bini?
sementara orang memendam hasrat untuk kaya-raya aku sempat membunuh majikan di sebaris fiksi berjudul “okultisme dari utara” atau “kapitalisasi yang adolesen”
ini kotaku merdu semata dalam ensiklopedi
Irrational Order --abdurrahman wahid
seorang syeikh penggenggam rasionalitas mitologi terbunuh oleh mitos politik rasional
selamat jalan syeikh yang rasional yang mitos selamat jalan
Khalifah Ali --abdurrahman wahid
ali pemimpin cerdas dari bijaknya lahir mantiq dan perbalahan dan akhlaq kekuasaan
dan bukankah ia ditikam dari belakang?
Khalifah Umar --abdurrahman wahid
suatu malam umar mencuri gandum dari gudang negara (karena di sudut kampung si sebuah rumah seorang ibu memasak batu)
jangan jangan mencuri gandum di sini di negara yang menjunjung koridor hukum
Kretapi
aku beroleh inspirasi dari seorang wali yang naik kretapi katanya: kretapi tak membawamu ke mana-mana karena kretapi pergi pulang melulu dari mana kembali ke mana
karenanya dan karenanya jika engkau hendak belajar pekerti janganlah ambil ibrah pada rutinitas dan kuantitas pulang pergi tapi ambillah ibrah pada setianya setianya
Mahabbah dan Syahwah --andien, engkau jauh dari jangkauan tapi garis bibirmu rawan kukenang
apakah engkau belum percaya bahwa iman perlu diuji coba dan mahabbah bukan soal coba-coba
dan apakah engkau masih percaya aku rajin membangun syari’at kujadikan rumah bagi labil syahwat
Vagina (Mawaddah, Rahmah)
sebagai petani aku suka bertanam ilmu
kemudian oleh sebab banyak berlatih serta mengamalkan nasihat fiqh aku fahim peta sawah tempat gembur tempat basah tempat sufi menenggala wahdah
di situ mawaddah tumpah di situ kusibak rahmah
Teman Selingkuh
kutunggu kau, teman selingkuh di sisi taman di sudut perpustakaan kita kan bercengkerama sembari memperluas bacaan sehingga genaplah makna setubuh
hei, tubuhmu menggelembung aku suka itu engkau mengandung ilmu
dan engkau pasti percaya akulah yang memiliki tugas melahirkan fatwa + merawat berita
Alda (Belajar Tasawuf 1)
aku tak biasa nerjemahkan khidmat yang dewasa sehingga rona ilmiah perempuanmu meradang di pusat riadlahku
aduh, engkaukah tasawuf itu?
bila kau tiada di sisiku akulah kanak-kanak paling lucu
Yanti (Belajar Tasawuf 2)
mencintaimu menghabiskan seluruh keringatku
rinduku pun heran nggelandang di sekujur badan fatwamu pada ketika sampai aku di ladang syar’i bulu matamu menari rumi
tasawufkah engkau? segalanya teramat berarti
Sarah (Belajar Tasawuf 3)
peluk aku sebelum kuhamburkan bisi tentang rahsia bayi manusia dan bunyi shalawat
cium aku karena aku petani bertanam khalwat menuai fiksi birahi
bawa aku memanjangi alur kaki bidari dan tatap yang beringas dan sungging yang antusias menduga-duga tasawuf itu
Cici (Belajar Tasawuf 4)
datanglah sayangku tubuhku lepuh oleh peluh ruhanimu hadirlah kasihku
betapa indahnya salam dari masyuq mendamprat asyiq “kalam ini merindumu”
amboi seperti tahi lalat terperincikah tasawuf?
Kemaluan
adik bibirmu menebal doa
kukenang iman yang jantan memanjakan kita matangkan liar senggama
(kuteguk semangkuk tasawuf tak sebagai asa yang memalukan)
adik gigimu merusak tata-tertib cinta
kukenang iman yang mulia tidak akan mengutuk simpang-siurnya fatwa
(kuteguk secangkir rindu dengan agak malu-malu)
Biduk
1 suatu hari aku menghadiahi kapal mainan berbahagialah anakku pertama karena memiliki teman bercanda
kapal itu, kataku tidak akan berangkat tanpa keyakinan
2 istriku meragukan makna keceriaan anakku kedua karena ia tertawa setelah kapal mainan jatuh terlempar
aku ragu, kata istriku apakah tiang layar tak bisa patah?
3 segera kusembunyikan kapal mainan sengaja aku ingin menggoda agar kedua anakku marah dan istriku masam-masam cuka
hai, kataku siapkan pelampung
4 kupikir aku seorang pelaut dengan membeli kapal mainan dan membincangkan laut
tanpa ombak, kataku laut bukan laut
kupikir istriku mudah berang jika kapal mainan sering tenggelam dan hatinya pun
kukutuk malam, katanya kenapa orang suka berlayar
Bernama asli Aminudin Rifai. Lahir di Wonogiri, Jawa Tengah, 19 Maret 1972. Sarjana Sastra dari Fak. Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada (UGM).
Menulis esai, puisi, cerpen di berbagai media massa dan berbagai buku antologi, baik antologi bersama maupun tunggal. Media-media yang pernah memuat tulisannya di antaranya adalah majalah sastra Horison, Jurnal Puisi, Jurnal Cerpen Indonesia, majalah Panjimas, Matabaca, harian Kompas, Republika, Media Indonesia, Jawa Pos, Seputar Indonesia, Jurnal Nasional, dan harian-harian lokal di Yogyakarta, Jawa Tengah, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Lampung, dan Riau.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.