Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Puisi-puisi Amien Wangsitalaja

Kompas.com - 06/10/2010, 03:31 WIB

Mendirikan Malam 1

aku yang pertama mendengar dendang dinda pada malam yang kita ingat ia pernah dibagi tiga

ini mungkin pada sepertiga yang kedua saat jam beranjak dari angka kosongnya aku mengaduk tasawuf akhlaq di dalam tiris nafasmu yang membasahi ceruk rindu

kemarilah kubisiki, sayang ada hasrat berundan-undan semizan syariat seribu bulan

ini mungkin pada sepertiga yang terakhir kuseduh dzikir kuramu syi’ir di palung mahabbahmu

di palung mahabbahmu laut asin mengingatkanku pada khidzir aku berjanji aku tidak akan banyak bertanya padamu senyampang malam saat kita sepakat melubangi sampan

kemarilah sayang, kubisiki

Mendirikan Malam 2

aku meminangmu untuk menjadi ‘aisyah sehabis khadijah

o sayangku, yang kemerah-merahan tertunduk diam

kita menghitung detak jam derit daun pintu dan desah yang disapukan

kita merundingkan bilangan raka’at di sepertiga terakhir malam dan dengan manja engkau menawar bilangan dzurriyyat melebihi ’aisyah melebihi khadijah sepadan angan

o kurasa aku ingin memukulmu bertubi-tubi menggemaskan

The Spirit of Mecca --kutandai, inilah ranah sufi

di kota tempat kita menangkar asmara aku berhasil mengukur kerudungmu yang lebar mengukur rahasia

aku melamunkan kiswah dan hitam hajar aku melamunkan hatimu yang sejak dari ruknul yamani sudah kuincar

inilah ranah sufi bisikku pada gamismu yang besar saat hujan membuat sadar ada syahdu datang berdenyar

(saat itu aku teringat pada sejarah di kota haram gerimis pun jarang tumpah)

ssst, ini rahasia ”aku menemukan marwah” ”aku menemukan mar-ah” lihatlah kepalaku tersungkur di jabal nur di jabal rahmah

dan di ghari hira inilah

Pengantin (1)

aku gemas pada hud hud yang gemetar mengabarkan pesonamu

aku gemas pada pemilik ilmu yang berhasil menyatakan singgasana kecantikanmu lebih cepat dari kedip bola mataku

dan aku lebih gemas padamu kerana engkau 'lah sudi mengunjungi relung istanaku

maka kutawarkan lantai hati yang sejernih kolam sehingga betis asmaramu tersingkap

Pengantin (2)

aku memang merencanakanmu menjadi zulaikha

dan saat itu aku ingin gamisku sobek di bagian depannya di bagian belakangnya

sehingga kita tak perlu merekayasa perjamuan agar jemari orang-orang teriris pisau menyaksikan syahwat yang tampan

Tektonik

makinlah rinduku pada laut manakala kauceritakan gesekan lempeng bumi dan ombak kasihmu saat itu aku terbiasa bermain buih di pantai yang asin

“aku menelan ikan kubuat tersesat di lubuk gelap” senyummu menyelesaikan cerita antara terpejam mata

lalu kurasa keringat tetes, meresap ke tanah yang bergetar ke episentrum

“besok lagi jangan lupa menjenguk laut”

Rumah

kurasakan hangat dadamu hangat dada fatimah karena kisahku menyerupai bocah yang berlumuran darah melintasi gurun menyeberangi fitnah

o, sapukan nafasmu segairah nafas ummil bathul karena aku tak ingin tersungkur seperti ‘ali, sehabis sahur

mari bersaksi akulah syahid engkau syahidah tanpa ditikam belati tanpa luka hati

dan kita menjadi tuan dan puan bagi sejarah melahirkan bocah-bocah tanpa racun tanpa tombak tanpa pedang tanpa segurat lelah

Di Lantai Ulin

pada suatu ketika

aku memang menghikmati nafasmu yang tak memburu di lantai ulin kamar tamu saat siang tempat guring saat malam

kita tak merencanakan cinta tapi matamu melebihi buluh perindu yang kuangankan ada dalam gelas yang kausajikan untukku

”inilah gadis senja yang merana terpikul kegundahan yang lama kata mengalir di dada lembutnya menebar spora, lembar cinta”*)

o, jangan merana bukankah rembulan pun memilihmu —kuingat waktu itu kita seperjalanan antara samarinda-bontang dan rembulan sedang teramat terang melumat wajahmu sepenuh cemburu dengan sesekali mengintai di bukit dan sembunyi di balik dahan—

di lantai ulin kita tak merencanakan cinta kerana ia tiba-tiba

sebagaimana pada suatu ketika kita tiba-tiba bisa bersama menyaksikan belian di desa jahab di sudut kotaraja kutai kertanegara —ceritamu, kakek dari mama dahulu seorang dukun belian juga—

dan kau bercanda ”datangi ia tidur di depan tariannya mintalah disembuhkan dari penyakit cinta”

aku berkerut oleh candamu tapi tak ragu-ragu ”seperti belian cinta memiliki kekuatan”

pada suatu ketika

___ *) penggalan bait puisi ”Gadis Senja” Fitriani Um Salva belian: upacara penyembuhan dalam tradisi orang Dayak guring: tidur (bahasa Banjar)

Kembali

jika aku pantas menuai bahgia ini izinkan aku kembali

dan kusadap rahsia waktu yang tlah merapuhkan egoku di hadapan pesonamu

dan seperti segarnya pagi kuasyiki keceriaan rona fitri

Ramadhan

kupercaya hadirmu memperbesar kemungkinan luruhnya angkuh redamnya dendam

dan bersama waktu egoku rapuh leh pesonamu ramadhan

  Hikayat Perahu Sampan    --esti

kau menggali lukaku sedalam kenangan sungai

aku dengan perahu sampanku pernah sangat setia menyibak riak menyisir nostalgia kala angin semilir atau kencang kala mentari hangat atau menyengat dan air pasang dan air surut

begitulah terlalu aku menyanjung sampan menggauli tanjung

kerana bagiku riwayat sungai dan ketenangan amatlah berarti

tapi kenapa kau menggali lukaku sedalam kenangan sungai

Bulan

intiplah bulan itu, ukhti kerana ia tersenyum saat kurangkum dalamnya dekap

dan kau mulai bercerita dengan ceria tentang tempat yang purnama bisa makin ada makna “di kotaku” katamu ya, di kotamu di tubuh kotamu di tubuhmu

dan tidakkah kaulihat aku sudah mulai membuka pintu menatap kota menatap tubuh kota menatap tubuhmu

“ada makna” kataku dan kau tersenyum bersama bulan yang terlihat dan dalamnya dekap ya

Habiba dan Pencuri (1)

habiba, kucuri senyum kecilmu dari dalam keseronokan rumah yang mengunci sejarah dan mengemas dongeng sebelum tidur saat itu aku masih sering melucu mengangankan pintu kan mengurungku

habiba, aku telah meraba jendela saat kuhirup aroma bibir mempelai yang mengingatkanku pada hujan yang tak mungkin bisa ditahan

habiba, barangkali delik matamu tepat menghunjam di jantung sufiku tapi sempatkah kaukenal sederhananya angan pencuri?

Habiba dan Pencuri (2)

kau mengingatkanku pada mimpi yang urung kutafsirkan kemarin malam

begitulah, setiap kuselidik bibirmu dengan lukisan tipis dari air ilmu aku tergetar untuk memungut kembali khasanah nafsu yang pernah kusimpan di guci waktu

Sketsa Gempa Sketsa Keluarga (1)

zaujati, inikah rumah kita? dinding batu runtuh meja tamu tak lagi utuh

inikah ranjang yang kemarin? hilang tanda rindu berpagut

Sketsa Gempa Sketsa Keluarga (2)

ayah aku dihantui guruh batu dan kabut debu

saat itu aku merasakan hati ibu

ayah ambilkan buku catatanku di bawah reruntuh dinding dan pintu

saat itu hadirmu sangat berarti bagiku

Sketsa Gempa Sketsa Keluarga (3)

aku akan membangun rumah baru kelak kautahu rumah yang kaurobohkan dahulu menyibak pondasi rindu

Perawan Lamin 1   --anna bell

mungkin kauherankan sugunku ketika kumasuki lamin dan kusaksikan engkau menari menari mengumpulkan mimpi

aku tertegun pada peluh yang kausangkal dapat meneguhkan syahwatku

dan sementara geliat tubuhmu mengetuk-ngetuk lantai aku tegak dalam syahwat dalam sugun

___ lamin: rumah panjang orang Dayak

Perawan Lamin 2

kupanggil saja kamu anna tapi kamu memang manis duduk di sisi lamin menyorongkan manik-manik hati

aku terpedaya tak kuasa menawar harga rindu aduh

kupanggil saja kamu anna kerana aku ingin melihatmu menari mengepakkan lengan menyibakkan kaki

aku silap tak kuasa menjinjing angau aduh

Eusideroxylon Zwageri

mengapa harus iri pada eusideroxylon zwageri sedang senyum yang pernah kaugenitkan pada sufi kian menguat oleh hujan dan terik mentari

ini tentu bukan mimpi saat kusentuh tangga lamin yang bahari aku telah belajar menakik hati dan kupastikan sesaat lagi rambutmu menyibak menggerai kerana aku mulai mendaki

___ eusideroxylon zwageri: ulin

Enggang

“bucaros rhinoceros ngangkasa nerobos eros”

biarkan aku terus menyanjungmu, puteri dan kuselipkan bulu enggang di sisi kiri engkau tahu dan harus tahu dalam bujukan metafisika yang jalang aku selalu saja kembali merasa lajang

___ bucaros rhineceros: burung enggang

Bar

kerana malam memaksa kita menghormati perjamuan maka kupilih lampion dan piala sebagai menu pembuka

dan senyummu terasa mahal jatuh di meja bar

dan matamu menyipit menyisir cara kerjaku yang rumit sebagai pramusaji yang mengasong cawan smara

“cawan smara” katamu pada akhirnya

Sebangau

betapapun aku paham tanah ini orang selalu saja keji memilirkan kayu memilirkan hati   Makrifat Sungai

aku berkapal, sepagi tadi sesiang ini menyusuri sungai dan kupastikan bahwa aku tidak pernah melupakanmu

dari dek ini kutangkap aurat tepian yang menjaga genit perawan mandi berkain basah berhati basah

amboi aku kembali memastikan bahwa syahwatku telah basah oleh sebab mengintipmu di sungai

Makrifat Sungai 2

seumpama perawan engkau berhasil merampas kelaminku

(di sini di tepi mahakam kutanggalkan seluruh pakaian dan seumpama lelaki aku bersampan)

ah perawan sembunyikanlah pakaianku   Laki

lakiku bertiang ulin merawat tubuh dari aurat tahun yeng menyampah di perairan di tanah

dalam hitungan waktu lakiku menyusun rindu selaiknya perahu

dalam balutan waktu lakiku berkahwin cemas bahwa di seberang kalender debit sungai akan menipis dan pasang laut mengasinkan mulut

saat itu sesiapa pun akan rapuh oleh takut oleh mimpi yang menubuh

tapi memang lakiku bertiang ulin tak terjangkau marah sungai sebab ia menjangkau cumbu sungai

Samarinda

la mohang daeng mangkona melaksanakan titah sultan kutai sambil menata adat bugis

“orang bugis orang kutai sama rendah sama semampai”

dan simaklah jilatan sungai terlalu bergairah mencumbu lamin mengawini tanah

dan jika saatnya nanti anak turun pua ado mendirikan masjid orang kutai menyusun empat tiangnya

“orang bugis orang kutai sama-sama menjunjung agama”

lalu siapa yang akan mulai berani menjual rumah ibadah meninggikan atap instansi sembari merendahkan sejarah?

Panji Selaten

adil raja karena desanya lalim raja karena desanya adil desa karena rajanya lalim desa karena rajanya

karena itu raja haruslah menurut mufakat sekaligus tiang mufakat

begitulah asal sememangnya walaupun pada nantinya banyak raja mengarang mufakat sekaligus membuang mufakat

Awang Long    awang long ditemani laskar melayu ditemani pasukan dayak ditemani laskar bugis menari di sungai

“nanda senopati tahukah engkau hikmah negeri?”

pada coklat air kali perempuan-perempuan rajin mandi dan desamu berseri-seri

tapi pada coklatnya juga engkau tahu kapal musuh lengkap bertentara

“nanda senopati tahukah engkau hikmah air kali?”

awang long di sungai bukan senopati

Makrifat Acheh 1

ada yang mendekatkanku padamu seperti cinta mendekatkan pengantin

ada yang mendekatkanku padamu aroma mayat mendegupkan tari sufiku meneguhkan fani tubuhku

Makrifat Acheh 2

kucemburukan kematian yang memesona yang mengejutkan religiusitas yang menghentakkan moralitas

“sejauh manakah kaufahami ujian dan derita sampai kaukatakan bahwa kau berperikemanusiaan sejauh manakah kaualami ujian dan derita sampai kaukatakan bahwa kau telah beriman?”

allah betapa dungu religiusitas kami betapa bebal moralitas kami jika masih saja menawar untuk mencinta sesama untuk tak menindas sesama

Makrifat Acheh 3

amboi tubuh-tubuh yang bergelimpangan kalian memahatkan kenangan anak yang kehilangan ibunya laki yang kehilangan perempuannya

sebagaimana lalu kami pahatkan kenangan pribadi tentang sufi yang kehilangan diri sendiri   Acheh Nampar

ya hayyu ya qayyumu kalau hari ini tubuhku tercabik, bukan baru hari ini tubuhku tercabik kalau kali ini badanku terkorban, bukan baru kali ini badanku terkorban

tubuhku telah lama robek oleh keserakahan nafsu badanku telah lama menjadi korban pertarungan ambisi dan kuasa arunku, hutanku, kakaoku tak mampu lagi meronta dari luka orang-orang tak berdosaku tak kuasa lagi mengucap kata karena popor dan senjata terlalu cepat berbicara

setiap hari nyawa orang menjadi bahan mainan “buat apa sekolah, nanti juga mati di jalan ditembak orang mati tak dikenal”

amboi, betapa akrabnya aku dengan derita dan derita, kematian dan kematian ya hayyu akankah selamanya kaupilihkan bagiku jalan hidup yang seperti ini akankah hanya dengan coba semacam ini kautinggikan maqam imanku

setahunan lalu, pantai bireuen-ku dikejutkan dengan mayat-mayat terbungkus karung beras terdampar dihempas ombak (mereka adalah yang kaupilih menjadi saksi dari kebiadaban segelintir yang dibebalkan oleh nafsu kekuasaan)

hari ini, bukan hanya pantai-pantaiku, bahkan segenap sisi kota-kotaku jalan rayanya, selokannya, tanah lapangnya diratusribui hempasan mayat (mereka adalah yang kaumuliakan menjadi saksi dari kuasamu menampar kebebalan nafsu)

tahun-tahun lalu, bukit-bukitku, hutan-hutanku, sungai-sungaiku, laut-lautku menjadi saksi dari nyawa-nyawa yang selalu saja melayang tanpa nama kali ini, dalam sekejap saja, kembali harus kupersaksikan ratusan ribu nyawa melayang tanpa nama (kiranya merekalah syahidin yang ingin kau bergegas merengkuhnya dalam pelukmu)

kemarin dulu, di salah satu kampungku mayat muzakir abdullah tersampir+terikat di pohon lehernya tergorok darahnya menoreh di dada (al hallaj-kah dia dihantarkan segerombol orang bertopeng yang brutal menyiksanya tanpa salah dan dosa apa pun telah dilakukannya)

hari ini, beberapa mayat yang tak sempat menyebut nama tersampir di pohon-pohon di kota-kotaku, tubuhnya membeku biru (al hallaj-kah mereka berperantara ombak yang kaukirim untuk menjemput mereka hanyut kepadamu tanpa salah dan dosa yang menyisa)

ya hayyu betapa tingginya maqam mereka yang menghadapmu dengan seketika yang menghadapmu bersama-sama

ya qayyumu betapa rendahnya maqam yang lainnya yang masih saja tak tersentak hatinya yang masih saja bebal jiwanya menggenggam nafsu rendah menumpuk amarah mengumbar kuasa

ya hayyu ya qayyumu kupersembahkan tubuhku kepadamu moga kemudiannya kauselamatkan jiwaku dari murkamu

2004

____ catatan: 1. data tentang mayat-mayat terbungkus karung beras di pantai Bireuen dan Muzakir Abdullah yang disiksa dan diikat di pohon adalah diambil dari majalah acehkita edisi 15 januari 2004.

Tajau Pecah

ini pengajian tauhid “asal tajau dari tanah maka ia mudah pecah”

kami rindu perempuan mandi berkain basah di sungai yang masih luput dari sengketa

aku —bersama orang-orang yang tidak terlibat perang berebut tanah negeri— mencoba merawat rindu dan mengaji statistik

kami genggam sejumput bumi dengan nusea patriotik kami simpan untuk berkubur

___ tajau: genthong/tempayan Tajau Pecah: nama desa di pedalaman wilayah Kab. Tanah Laut, Kalsel

Tajau Mulia

ini pengajian tauhid “asal tajau dari tanah maka ia mulia”

kembali ke selera asal negeri tanpa birahi ekonomi orang banjar mengaji mandau orang madura mengaji badik orang jawa mengaji sabit

tapi tanah terlanjur tandus buat berladang dan kami tak punya saham buat birahi

maka buat memuliakan negeri kami membakar bukit

___ tajau: genthong/tempayan Tajau Mulia: nama desa di pedalaman wilayah Kab. Tanah Laut, Kalsel

Etnofotografi

sekerumun etnik mengasah pisau menaikkan panji

dan buku sejarah lapuk berdebu orang tidak membaca cara musa menjagal pemuda dan menggiring gembala (dengan lidah tidak sempurna ia berkata: ya bani israila)

sekerumun etnik mengasah pisau “kata koran, kawan kami ditikam orang di jalan raya”

sekerumun etnik menaikkan panji “seseorang menceramahi kami seseorang menafkahi kami”

sekerumun etnik sama sekali bukan etnik

Orang Kada Balampu

“kami tak pernah memuja mandau tak pernah menyanjung badik” orang kada balampu tertulis di kitab yaumiyah mengasuh lapar tanpa pernah punya pekerjaan menjarah penghasilan orang tanpa menghiraukan tanah asal orang kada balampu memulakan pertikaian bukan untuk bertikai asah badik cabut mandau bukan menyulut perang orang kada balampu tak membunuh madura banjar, dayak, bugis, jawa orang kada balampu semata membunuh manusia

___ kada balampu (bhs. Banjar: tidak berlampu): julukan bagi segerombolan perompak/tukang onar di Kalimantan

Aktivis Feminisme & Liberalisme

seorang syeikh diinterogasi oleh para aktivis liberalisme & feminisme karena ia dianggap melanggar HAM karena ia memaksakan cinta

tapi seorang syeikh takkan menginterogasi para aktivis liberalisme & feminisme meski mereka memaksakan HAM meski mereka melanggar cinta

(kita paham seorang syeikh tak mampu berbuat apa sebab para aktivis liberalisme & feminisme memiliki funding teramat kuatnya)

Fatima Mernissi

sesekali aku menjamah fatima mernissi ia paham syahwat lelaki

fatima mencari nafkah aku memperindah meja tamu dan malam datang ringkas setelah siang diperpanjang oleh etos kerja dan ilmu pasti

la raiba tanpa ragu kami pun saling menjamah

Fatima Zahra

perempuan di dalam masjid tak seorang pun mengalahkannya kecuali ruhul jihad

di sini siang malam terjahid perjuangan uraian dendam dan sahaja seorang ibu, ibu agama

nikmat air matanya mengukir sajadah sebagai pembalut kerja sebagai pembalut logika

perempuan di dalam masjid mengulum seluruh sejarah : melahirkan dua lelaki

la raiba dialah fatima dialah zahra

Catatan Negeri

1 tepatkah negara berduka ketika penguasa yang bijak menggusur perkampungan warga

lihatlah beberapa mayat bayi mengapung di sungai yang berbau limbah menguarkan kejelataan

2 aku bahkan tak sempat menangis jika ada gadis manis ditarik paksa petugas berseragam hingga sobek badan perempuan

3 hallo anybody home?

(tidak ada jawaban syahdan sufi sedang berganti pakaian)

Sufi dan Kepala Negara 1

seorang sufi menulis surat kepada kepala negara

wahai kepala negara aku ingin meringankan bebanmu memimpin rakyat

caranya: bunuhlah aku atas nama rakyat

Sufi dan Kepala Negara 2

jika pemimpin negeri menyuruhmu memikirkan negeri jawablah: akan kami penuhi

memikirkan negeri memanglah tugas para sufi sejak para pejabat dalam birokrasi tengah sibuk dengan diri sendiri

kemudian tanpa disuruh pun telah jatuh kewajiban kepada sufi memikirkan pemimpin negeri yang tak mampu memikirkan negeri

Intelektual dan Sejarah

sempatkan dirimu untuk memikirkan negeri ini sebagaimana engkau memikirkan budi dan hati

(kulihat engkau mulai menulis sebuku epos atau sebait puisi tentang keraguanmu kepada negeri ini dan keraguan negeri ini kepada budi dan hati)

dan sebagaimana engkau meragukan negeri ini negeri ini pun meragukan tulisanmu

Sufi, Tuhan, Pejabat Negara, Tentara Bersenjata

sebelum sufi mengenal tuhan ia takut kepada pejabat negara ia takut kepada tentara bersenjata

setelah sufi mengenal tuhan ia takut menjadi pejabat negara ia takut menjadi tentara bersenjata

Warga Negara

aku berdoa untuk halaqahku sebelum salam sampai “beri kami kekuatan untuk bayar pajak dari tubuh kami yang renta bagi pejabat yang bijak mengelola kekayaan negara”

aduh aku lupa tidak berdoa untuk halaqahku “beri kami kekuatan untuk menjadi warga negara”

Al Hallaj

1 aku berkabar pada tuan bahwa cinta memabukkan

sehingga aku terpesona pada penindasan kemanusiaan

2 jangan mencari tahu sebab kemurtadanku (aku murtad setelah imanku dibunuh)

jangan mencari tahu siapa pembunuhku (aku tetap hidup bersama fatwa dan kata-kata)

jangan mencari tahu rahasia kata-kata (aku memberi minum orang yang haus aku memberi makan orang yang lapar)

3 saksikan aku melepas jubah sufi kugantung bersama syahwat kemiskinan orang yang tertekan kesengsaraan orang yang terlibas

aku tidak berpihak pada sultan dan tuhan

The End of Capitality

lagi-lagi aku ditampar oleh logika kapitalisme

seorang kawan ingin berkonsultasi tentang rindu ia mendatangi banyak syeikh dan tak pernah bisa bertemu

pada puncak pencariannya ia berkabar “bila kau tidak bisa menemu seorang syeikh belilah seorang syeikh”

kemudian kawanku tidak pernah lagi sakit rindu

Toko Buku vs Kota

seseorang sebab asa ketuhanan mendengkur di sudut teka-teki referensi-referensi glamour

ini kotaku terbaca oleh atlas kumal beberapa ruasnya menyisa tembok tua yang mengelupas berberita sejarah pemikiran kaum selebriti urban yang etis dan pendendam

dari sebelah labirin rak selembar kertas tanggal dan terlempar tepat di traffic light lampu kuning amsal dinamika kota dalam percepatan komunikasi dan silaturahmi seluleri tidak hidup tapi hidup

(aku membuka literatur kaidah fiqhiyah yang rumit)

sore berselimut asap dan oktan dan suatu bacaan perihal seks yang nyinyir atau politik yang slapstik memerdekakan imajinasiku berkhalwat dengan hantu

wahai siapa membuka pintu tasawuf siapa memuja pagar demokrasi siapa berbekal ilmu transaksi meneror inspirasi laki-bini?

sementara orang memendam hasrat untuk kaya-raya aku sempat membunuh majikan di sebaris fiksi berjudul “okultisme dari utara” atau “kapitalisasi yang adolesen”

ini kotaku merdu semata dalam ensiklopedi

Irrational Order   --abdurrahman wahid

seorang syeikh penggenggam rasionalitas mitologi terbunuh oleh mitos politik rasional

selamat jalan syeikh yang rasional yang mitos selamat jalan

Khalifah Ali  --abdurrahman wahid

ali pemimpin cerdas dari bijaknya lahir mantiq dan perbalahan dan akhlaq kekuasaan

dan bukankah ia ditikam dari belakang?

Khalifah Umar   --abdurrahman wahid

suatu malam umar mencuri gandum dari gudang negara (karena di sudut kampung si sebuah rumah seorang ibu memasak batu)

jangan jangan mencuri gandum di sini di negara yang menjunjung koridor hukum

Kretapi

aku beroleh inspirasi dari seorang wali yang naik kretapi katanya: kretapi tak membawamu ke mana-mana karena kretapi pergi pulang melulu dari mana kembali ke mana

karenanya dan karenanya jika engkau hendak belajar pekerti janganlah ambil ibrah pada rutinitas dan kuantitas pulang pergi tapi ambillah ibrah pada setianya setianya

Mahabbah dan Syahwah --andien, engkau    jauh dari jangkauan    tapi garis bibirmu    rawan kukenang

apakah engkau belum percaya bahwa iman perlu diuji coba dan mahabbah bukan soal coba-coba

dan apakah engkau masih percaya aku rajin membangun syari’at kujadikan rumah bagi labil syahwat

Vagina (Mawaddah, Rahmah)

sebagai petani aku suka bertanam ilmu

kemudian oleh sebab banyak berlatih serta mengamalkan nasihat fiqh aku fahim peta sawah tempat gembur tempat basah tempat sufi menenggala wahdah

di situ mawaddah tumpah di situ kusibak rahmah

Teman Selingkuh

kutunggu kau, teman selingkuh di sisi taman di sudut perpustakaan kita kan bercengkerama sembari memperluas bacaan sehingga genaplah makna setubuh

hei, tubuhmu menggelembung aku suka itu engkau mengandung ilmu

dan engkau pasti percaya akulah yang memiliki tugas melahirkan fatwa + merawat berita

Alda (Belajar Tasawuf 1)

aku tak biasa nerjemahkan khidmat yang dewasa sehingga rona ilmiah perempuanmu meradang di pusat riadlahku

aduh, engkaukah tasawuf itu?

bila kau tiada di sisiku akulah kanak-kanak paling lucu

Yanti (Belajar Tasawuf 2)

mencintaimu menghabiskan seluruh keringatku

rinduku pun heran nggelandang di sekujur badan fatwamu pada ketika sampai aku di ladang syar’i bulu matamu menari rumi

tasawufkah engkau? segalanya teramat berarti

Sarah (Belajar Tasawuf 3)

peluk aku sebelum kuhamburkan bisi tentang rahsia bayi manusia dan bunyi shalawat

cium aku karena aku petani bertanam khalwat menuai fiksi birahi

bawa aku memanjangi alur kaki bidari dan tatap yang beringas dan sungging yang antusias menduga-duga tasawuf itu

Cici (Belajar Tasawuf 4)

datanglah sayangku tubuhku lepuh oleh peluh ruhanimu hadirlah kasihku

betapa indahnya salam dari masyuq mendamprat asyiq “kalam ini merindumu”

amboi seperti tahi lalat terperincikah tasawuf?

Kemaluan

adik bibirmu menebal doa

kukenang iman yang jantan memanjakan kita matangkan liar senggama

(kuteguk semangkuk tasawuf tak sebagai asa yang memalukan)

adik gigimu merusak tata-tertib cinta

kukenang iman yang mulia tidak akan mengutuk simpang-siurnya fatwa

(kuteguk secangkir rindu dengan agak malu-malu)

Biduk

1 suatu hari aku menghadiahi kapal mainan berbahagialah anakku pertama karena memiliki teman bercanda

kapal itu, kataku tidak akan berangkat tanpa keyakinan

2 istriku meragukan makna keceriaan anakku kedua karena ia tertawa setelah kapal mainan jatuh terlempar

aku ragu, kata istriku apakah tiang layar tak bisa patah?

3 segera kusembunyikan kapal mainan sengaja aku ingin menggoda agar kedua anakku marah dan istriku masam-masam cuka

hai, kataku siapkan pelampung

4 kupikir aku seorang pelaut dengan membeli kapal mainan dan membincangkan laut

tanpa ombak, kataku laut bukan laut

kupikir istriku mudah berang jika kapal mainan sering tenggelam dan hatinya pun

kukutuk malam, katanya kenapa orang suka berlayar

Bernama asli Aminudin Rifai. Lahir di Wonogiri, Jawa Tengah, 19 Maret 1972. Sarjana Sastra dari Fak. Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada (UGM).

Menulis esai, puisi, cerpen di berbagai media massa dan berbagai buku antologi, baik antologi bersama maupun tunggal. Media-media yang pernah memuat tulisannya di antaranya adalah majalah sastra Horison, Jurnal Puisi, Jurnal Cerpen Indonesia, majalah Panjimas, Matabaca, harian Kompas, Republika, Media Indonesia, Jawa Pos, Seputar Indonesia, Jurnal Nasional, dan harian-harian lokal di Yogyakarta, Jawa Tengah, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Lampung, dan Riau.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com