M Zaid Wahyudi
Pengambilan air tanah yang berlebihan akan memicu percepatan penurunan tanah.
Ketua Umum Ikatan Ahli Geologi Indonesia yang juga ahli hidrogeologi Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut Teknologi Bandung, Lambok M Hutasoit di Jakarta, Kamis (30/9), mengatakan, jenis batuan tempat Kota Jakarta berdiri adalah endapan aluvial, terdiri atas lempung dan pasir. Umur endapan yang menutupi permukaan tanah Jakarta itu masih sangat muda, baru sekitar 10.000 tahun.
Karena masih sangat muda, endapan aluvial itu akan terus mengalami kompaksi atau
Kompaksi itu diperkuat dengan terjadinya pelapukan batuan menjadi tanah. Namun, pelapukan itu tidak terjadi semata karena intrusi air laut.
Endapan aluvial tersebut semakin tebal di sisi utara Jakarta. Hal ini membuat tingkat amblesan di bagian utara Jakarta lebih tinggi dibandingkan bagian selatan. Namun, ironisnya, ketika kondisi alamiahnya kurang menguntungkan, pengambilan air bawah tanah justru berlangsung seperti tanpa kendali.
”Keberadaan sumur bor dan jumlah pengambilan air bawah tanah itu semua ada aturannya, tetapi tidak ada implementasinya,” kata Lambok yang juga anggota tetap Tim Pertambangan DKI Jakarta.
Saat air di dalam tanah yang menopang kekuatan tanah terus diambil, pembangunan di permukaan tanah justru sering mengabaikan faktor kemampuan tanah dalam menahan beban. Akibatnya, terjadilah penurunan tanah karena beban gedung yang terlalu berat. Jika amblesan tanah terjadi tidak merata, gedung bisa miring atau bahkan bisa patah.
Faktor lain pemicu amblesnya tanah adalah gaya tektonik akibat pergerakan kulit bumi yang terjadi terus-menerus. Wilayah Jakarta dilalui sejumlah sesar atau patahan.