Meski dalam beberapa hal tidak sama dengan ajaran Islam, keberadaan agama-agama lain diterima di Indonesia, negara dengan jumlah umat Muslim terbesar di dunia.
Bahkan, Islam di Indonesia mau mengorbankan cita-cita menjadikan negeri ini negeri Islam dengan menerima Pancasila. Selanjutnya, dalam kehidupan sehari-hari pun tidak sedikit yang masih mau memberi ucapan pada hari raya kami.
Pengalaman panjang hidup di tengah umat Muslim di Indonesia, dengan penghargaan dan penerimaan itu, membuat kami yang bukan pemeluk Islam sungguh merasa menjadi bagian dari Indonesia.
Sebagai umat Katolik, saya merasa tidak didiskriminasi dan mampu mengaktualisasikan semboyan kami: seratus persen Katolik, seratus persen Indonesia.
Kami sungguh menjadi Katolik dan sekaligus sungguh menjadi warga Indonesia. (Tidak ada niat tersembunyi di balik semboyan itu untuk seratus persen meng-katolik-kan Indonesia.) Itulah pengalaman kami di-aku-i. Itu pulalah alasan ketiga kami berterima kasih kepada Islam di Indonesia.
Memang, dalam proses berinteraksi selama ini, kadang terjadi salah paham atau gesekan. Pengalaman itu terasa menyakitkan meski tetap bisa dipandang sebagai sebuah risiko dari suatu proses pendewasaan bersama. Kami, atau setidaknya saya, tetap berusaha mensyukurinya. Bagaimanapun, kasih tidak selalu berasa manis.
Kasih yang fitri
Pengalaman nyata hidup di tengah umat Muslim di bumi Indonesia tadi, setidaknya sampai hari ini, menjadi bukti bahwa pada dasarnya Islam, seperti yang sering saya dengar, adalah rahmatan lil’alamin, rahmat untuk semesta alam. Kalau kami merasa di-aku-i, itu karena kami merasa sungguh hidup. Islam telah menjadi rahmat, menjadi rohima, sebagai kasih yang menghidupkan.
Untuk perjalanan bangsa ke depan, tentu saja kami tetap berharap bahwa jiwa Islam sebagai rahmatan lil’alamin tetap dapat diwujudkan supaya bangsa yang sangat beragam ini tetap dapat hidup damai berdampingan.
Memang, harus diakui, harapan ini disampaikan di tengah sedikit kekhawatiran bahwa rahmat yang selama ini kami rasakan menjadi pudar.