Lagu itu dinyanyikan hingga pelosok tanah Jawa, bahkan oleh orang-orang yang belum pernah menginjakkan kaki di stasiun tepat di jantung Kota Solo itu.
Perusahaan kereta Hindia Belanda, Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij membangun Stasiun Solo Balapan tahun 1873. Stasiun ini melengkapi pembangunan jalur rel Kedungjati-Solo-Yogyakarta melalui Gundih dan Klaten. Stasiun ini juga salah satu stasiun tertua di Indonesia.
Adalah Herman Thomas Karsten, arsitek kelahiran Amsterdam, yang memberikan ”sentuhan” arsitektur berbeda dibandingkan stasiun-stasiun lain.
Atap tajuk bersusun tiga pada lobi stasiun yang direnovasi pada tahun 1927 mencerminkan kekerasan hati Karsten, yang ingin memadukan arsitektur Jawa dan kolonial. Atap itu juga memudahkan sirkulasi udara dan pencahayaan alami ke dalam ruangan stasiun.
Dalam rancangannya, Karsten—yang terlibat aktif dalam Instituut de Java, perkumpulan yang peduli budaya Jawa, juga ingin menegaskan bahwa Jawa adalah Jawa. Dia tak ingin kota-kota di Jawa menjiplak kota-kota di daratan Eropa.
Tengok saja rancangan Karsten yang membumi seperti Pasar Johar (Semarang), Gerbang Luar, dan Pendapa Pura Mangkunegaran. Bandingkan dengan kentalnya gaya kolonial pada Stasiun Solo Jebres, yang dibangun perusahaan kereta api Staatspoorwegen (SS) tahun 1884.
”Pada zamannya, Karsten dikenal sebagai arsitek yang peduli lingkungan dan iklim setempat. Rancangannya disesuaikan kondisi lokal dan iklim tropis setempat. Karsten juga cerdik, tidak asal comot. Ia mampu mengolah bentuk-bentuk di Nusantara menjadi bentuk baru,” kata ahli arsitektur dari Universitas Sebelas Maret, Muhamad Muqoffa, Senin (23/8).
Selain bangunan lobi utama, segmen bangunan lain yang kini digunakan sebagai kantor juga beratap tinggi meski tidak bersusun. Dengan begitu, suhu ruangan stasiun tetap nyaman tanpa penyejuk udara.