JAKARTA, KOMPAS.com — Pengurus Besar Nahdlatul Ulama atau PBNU menegaskan tidak pernah mengeluarkan fatwa mengenai larangan untuk melakukan shalat jenazah bagi koruptor yang beragama Islam. Menurut PBNU, hukum menyelenggarakan shalat jenazah adalah fardu kifayah. Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siradj dalam siaran pers yang diterima pada Minggu (22/8/2010) mengemukakan, yang difatwakan adalah bahwa para ulama atau kiai dianjurkan untuk tidak ikut menshalatkan jenazah koruptor sebagai sebuah sanksi sosial untuk tindak pidana korupsi. Penegasan ini penting disampaikan PBNU terkait banyaknya kalangan yang salah faham terhadap fatwa yang diputuskan dalam Musyawarah Nasional Alim Ulama, 25-28 Juli 2002 di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta. Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siradj mengatakan, fatwa agar para ulama tidak menshalatkan jenazah koruptor itu berdasar pada hadis Nabi Muhammad SAW. Suatu ketika Nabi memerintahkan agar para sahabat menshalatkan jenazah seorang sahabat yang meninggal dalam perang Khaibar. Namun, Nabi tidak ikut menshalatkannya. Para sahabat kemudian bertanya mengapa Nabi tidak ikut menshalatkan jenazah tersebut. Nabi bersabda, "Sesungguhnya sahabatmu ini telah melakukan korupsi di jalan Allah". Setelah sahabat memeriksa, ternyata mereka menemukan bahwa sahabat yang meninggal itu telah mengambil dan menyembunyikan harta rampasan perang senilai dua dirham sebelum harta-harta itu dibagi. "Jadi, NU mengikuti Nabi menyarankan agar para ulama tidak ikut menshalatkan jenazah koruptor. Tapi shalat jenazah tetap harus dilakukan karena hukumnya fardu kifayah yang berarti harus dilakukan oleh sebagian kaum muslimin saja. Maka biarlah yang menshalatkan orang lain saja, atau keluarganya," kata Said Aqil. Menurut dia, fatwa agar ulama atau kiai tak menshalatkan jenazah itu dimaksudkan agar memunculkan efek jera bagi para pelaku tindak pidana korupsi. "Sekarang ini korupsi di Indonesia sudah sangat akut maka perlu ada sanksi sosial buat para koruptor," kata Said Aqil Siradj. Khatib Aam PBNU KH, Malik Madani, yang sebelumnya memunculkan kembali fatwa ini menambahkan, anjuran agar para ulama tidak menshalatkan jenazah koruptor itu juga dimaksudkan agar tidak timbul kesan bahwa ulama melegitimasi tindakan korupsi yang telah dilakukan oleh para koruptor. "Ini agar mereka yang akan melakukan korupsi berpikir bahwa kelak kalau mereka mati jenazah mereka tidak akan pernah dishalatkan oleh ulama. Di beberapa daerah yang masih memegang kuat ajaran Islam, fatwa ini menjadi pukulan berat atau menjadi semacam sanksi sosial," katanya. Ia mengatakan, hadis yang menyatakan bahwa Nabi tidak menshalatkan jenazah koruptor itu didukung oleh riwayat yang kuat. "Hadis ini diriwayatkan oleh lima periwayat hadis selain Tirmidzi. Penjelasan terhadap hal itu antara lain bisa dilihat dalam kitab Nailul Author karya As-Syaukani," katanya. Terkait beberapa komentar mengenai fatwa NU ini, Malik Madani berharap, para tokoh termasuk Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin, melakukan klarifikasi terlebih dahulu terhadap PBNU agar tidak timbul kesalahpahaman.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.