Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jugun Ianfu, Terstigma Seumur Hidup

Kompas.com - 19/08/2010, 19:08 WIB

KOMPAS.comPusat Kebudayaan Belanda, Erasmus Huis, pada 13 Agustus-23 September 2010 ini mengadakan pameran foto Jugun Ianfu, karya wartawan Hilde Janssen dan Jan Banning. Mulai 24 April lalu, koleksi foto yang sama juga dipamerkan dengan tema "Comfort Women" di Museum Kunsthal Rotterdam, Belanda.

Foto yang dipamerkan adalah potret close-up dari perempuan-perempuan tua asal Jawa, Sumatera, dan Maluku, yang dulunya merupakan jugun ianfu. Melalui foto-fotonya, Banning—fotografer pemenang World Press Awards 2004—berusaha menyampaikan kisah-kisah sedih mengenai para perempuan yang menjadi budak seks pada masa penjajahan Jepang di Indonesia.

Ekspresi mereka menguak kisah masa lalu yang tak pernah lenyap dari pikiran mereka. Dengan koleksi fotonya, Banning menerobos sejarah tabu dari 10.000 budak seks dari Asia (jumlah pastinya tidak pernah diketahui) yang telah ditutup rapat selama berpuluh tahun. 

Jugun ianfu sendiri merujuk pada perempuan yang dipaksa menjadi pemuas kebutuhan seksual tentara Jepang. Indonesia bukan satu-satunya negara di mana para perempuan dijadikan jugun ianfu. Riset Dr Hirofumi Hayashi, seorang profesor di Universitas Kanto Gakuin, juga menyebutkan bahwa perempuan Korea, Tiongkok, Malaya (Malaysia dan Singapura), Thailand, Filipina, Myanmar, Vietnam, India, penduduk kepulauan Pasifik, hingga Jepang sendiri, juga dijadikan budak seks.

Untuk mengumpulkan foto ini, Janssen dan Banning melakukan perjalanan di berbagai kepulauan Indonesia. Tak mudah menemukan perempuan yang bersedia membuka mulut atau mengizinkan Banning mengambil foto mereka, kecuali 50 orang yang fotonya kemudian ditampilkan di pameran ini.

Menurut siaran pers dari Museum Kunsthal, para perempuan ini ditarik paksa dari rumah-rumah mereka atau dari jalanan oleh tentara Jepang. Mereka dipaksa bekerja dalam rumah bordil yang diawasi secara ketat oleh militer. Beberapa di antara mereka akhirnya terjebak di bordil-bordil tak resmi di barak-barak, pabrik, atau tenda-tenda, atau diseleksi untuk menjadi gundik dari tentara Jepang.

Sebagian perempuan bernasib "cukup baik", setelah berhasil melarikan diri setelah perang usai. Mereka mampu melanjutkan hidup dengan menikah dan mempunyai anak-cucu. Sebagian yang lain tidak mendapatkan kemewahan tersebut, dan akhirnya mendapatkan stigma seumur hidup mereka.

Ironisnya, sejarah ini dilupakan dan dianggap tidak penting oleh sebagian orang. Bahkan, tidak jarang keberadaan tentang jugun ianfu dianggap sebagai kebohongan belaka. Para saksi pun dianggap tidak pantas untuk bercerita karena dapat memperburuk nama negara di mata dunia.

Perbudakan semacam ini sebenarnya masih ada hingga sekarang. Cara yang dilakukan pun hampir sama dengan yang dilakukan pada zaman penjajahan. Meskipun demikian, banyak perempuan yang tidak sadar dan mudah tertipu sehingga mereka menjadi budak seks. Hal ini sedikit banyak disebabkan karena masalah-masalah seperti ini telah "dibungkam", baik sengaja maupun tidak.

"Perasaan malu dan takut sering kali membuat perempuan tidak mau mengakui perbudakan yang menimpanya. Selain itu, terkadang pengakuan tersebut dianggap sebagai pencemaran nama baik bangsa," kata Andy Yentriyani, Commissioner dan Head of Subcomission for Public Participation Komnas Perempuan, pada diskusi "Mari Bicara Kebenaran" di Erasmus Huis, Senin (16/8/2010) lalu.

Tidak jarang perempuan yang terpaksa melakukan hal tersebut justru disalahkan. Akibatnya, mereka merasa dikucilkan dan semakin tertutup terhadap dunia luar. Bahkan lebih dari pada itu, dampak dari pengucilan tersebut masih dapat dirasakan hingga sekarang. Malu, dihina, dan dikucilkan. Bagaimanakah cara mengembalikan perasaan aman bagi para perempuan korban budak seks ini untuk hidup di negara ini?

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com