Oleh Frenky Simanjuntak*
KOMPAS.com - Pemerintah telah gagal memenuhi janji membersihkan Indonesia dari korupsi. Ini adalah kesimpulan sementara yang saya ambil dari hasil kajian Indonesia Corruption Watch yang baru saja diluncurkan (Kompas, 5/8/2010).
Menurut kajian ICW, tren korupsi di Indonesia pada semester I-2010 meningkat, diindikasikan naiknya jumlah kasus, tersangka, dan kerugian negara akibat korupsi dibandingkan semester I-2009.
Laporan ICW menyatakan, pada semester I-2010 terungkap 176 kasus korupsi, 441 orang ditetapkan sebagai tersangka, dan kerugian negara akibat korupsi Rp 2,1 triliun. Sementara semester I-2009 hanya 86 kasus yang disidik, 217 tersangka, dan kerugian negara Rp 1,17 triliun.
Data ini sebenarnya bisa dibaca sebagai indikator keberhasilan pengungkapan kasus korupsi oleh aparat penegak hukum. Namun, ICW justru menyatakan ini adalah indikator respons penegak hukum yang lambat karena kasus korupsi yang terungkap rata-rata berumur dua tahun.
Hal ini tentunya terbuka untuk diperdebatkan. Yang lebih menarik sebenarnya adalah membahas temuan lain dari kajian ini, yaitu bahwa keuangan daerah masih menjadi sumber potensi korupsi terbesar. Biaya politik daerah yang sangat tinggi, kontrol yang lemah terhadap pendanaan kandidat pilkada, dan pengawasan yang lemah terhadap penggunaan dana pembangunan di daerah, semua membuat potensi korupsi di daerah semakin tinggi.
Agenda reformasi bangsa ini meletakkan fondasi awal pelaksanaan otonomi daerah. Sejak ditetapkannya otonomi daerah yang diatur UU Nomor 32 Tahun 2004, Pemerintah Indonesia seakan telah berada pada jalur yang benar untuk menuju tata kelola pemerintahan yang lebih baik.
Namun, sejak awal, penerapan otonomi daerah (otda) telah menunjukkan banyak masalah. UU yang lemah dan penerapan yang setengah hati telah menciptakan raja-raja kecil di daerah. Penyalahgunaan anggaran dan penggelapan jadi tren yang berulang di berbagai kabupaten. Korupsi yang pada Orde Baru terpusat dan terorganisasi rapi, ironisnya, ikut terdesentralisasi dan menyebar seperti kanker.
Tidak mengherankan bila di masa awal berdirinya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap banyak sekali kasus korupsi di daerah. Ini semata-mata menunjukkan, sejak pelaksanaan otda, oknum eksekutif, legislatif, dan pengusaha daerah telah memanfaatkan kesempatan memperkaya diri.
Sejak berdirinya KPK pada 2003, puluhan pejabat pemerintah masuk bui atas tuduhan korupsi. Ini sepertinya belum menimbulkan efek jera yang diharapkan. Korupsi masih marak, bahkan semakin merajalela.