Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Keberagaman merupakan Aset Kemajuan Bangsa

Kompas.com - 06/08/2010, 04:25 WIB

Jakarta, Kompas - Keberagaman di antara masyarakat Indonesia seharusnya menjadi aset kemajuan bangsa dan bukan menjadi penyebab konflik atau perpecahan. Hal itu menjadi benang merah dalam bedah buku Indonesia Satu, Indonesia Beda, Indonesia Satu, Rabu (4/8) di Universitas Paramadina.

Dalam acara itu hadir penulis buku Jimmy Oentoro, Ketua Partai Amanat Nasional Bima Arya, Ketua Umum Dewan Tanfidziyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU) Said Aqiel Siradj, tokoh pluralisme Djohan Effendi, dan Guru Besar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Franz Magnis-Suseno.

Said Aqiel mengatakan, sebenarnya adalah hal yang ironis setelah 65 tahun merdeka masih bicara soal toleransi dan keberagaman. Namun, akhir-akhir ini masalah itu memang mendapat sorotan lagi. ”Ada yang masih ngotot untuk memasukkan syariat Islam di konstitusi, padahal sudah sejak 1936 NU menetapkan Indonesia adalah negara kebangsaan di tengah keberagamannya,” kata Said.

Franz Magnis juga menyoroti bagaimana bangsa Indonesia bisa mengatasi keberagamannya sehingga bisa membuat negara. Masalahnya, proses itu harus terus-menerus dilakukan. Menurut Franz Magnis, wajar kalau sebagai negara berkembang, Indonesia memiliki banyak masalah. Namun, adanya pihak-pihak yang memonopoli kebenaran adalah sebuah sikap sombong.

Bima Arya mengatakan, di partai politik pun dikhawatirkan konstruksi kebangsaan tengah rapuh. Salah satu cirinya adalah masyarakat terjebak pada sekat kelompok. Seolah-olah dalam konflik harus selalu ada yang menang dan kalah. Bima melihat banyak energi parpol yang juga terjebak dalam urusan konflik.

Djohan Effendi menceritakan bagaimana Gus Dur disuruh ayahnya, KH Wahid Hasyim, ke rumah tokoh Partai Katolik, IJ Kasimo, dengan membawa uang. Rupanya, uang itu dikumpulkan tokoh-tokoh itu untuk membantu Ketua Umum Masyumi Prawoto Mangkusasmito yang hendak membuat rumah. ”Sekarang yang hilang itu semangat kekitaan. Yang ada hanya kami dan mereka,” kata Djohan.

Jimmy Oentoro membuat buku itu karena peduli terhadap kondisi masyarakat Indonesia yang tetap miskin. (EDN)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com