Ninuk Mardiana Pambudy
Indonesia adalah negeri yang kaya dengan berbagai jenis kain tradisional, termasuk corak kain ikat. Tiap suku memiliki corak kain yang berkembang menurut lingkungan, adat, dan kepercayaan masing-masing. Begitu juga warna, berangkat dari bahan pewarna alam yang tersedia di tempat.
Maka, ketika industri mode yang digerakkan modal raksasa dengan merek mendunia, seperti Gucci, Bottega Veneta, dan Dries van Noten, mengambil corak ikat—dan juga batik—ke dalam produk mereka, pertanyaan yang menggelitik adalah bagaimana dengan para artisan seni kriya yang telah membuat tenun dan batik tradisional tetap ada sehingga memberi inspirasi dan membangkitkan nilai ekonomi begitu besar di tempat lain? Tidakkah mereka juga pantas mendapat manfaat dari munculnya kegiatan ekonomi bernilai jutaan dollar itu?
Pertanyaan itu tidak mudah dijawab. Batik Indonesia setelah dinyatakan sebagai warisan dunia tak benda, artinya telah menjadi milik bersama dunia, meskipun untuk itu masyarakat dunia melalui Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO), berkewajiban membantu kelestarian seni batik, antara lain dengan membantu proses regenerasi. Lalu, ketika corak lereng dimanfaatkan Van Noten dalam desain busana untuk musim semi dan panas 2010, apakah para perajin di Jawa Tengah yang masih melestarikan corak tersebut perlu ikut mendapat manfaat ekonomi secara langsung?
Manfaat tak langsung adalah pengakuan internasional dan promosi yang menyertainya. Untuk mendapat manfaat dari situ, yang diperlukan adalah kemampuan mengubah warisan tradisional itu menjadi produk baru yang memiliki unsur kekayaan intelektual dan bernilai ekonomi.
Tradisi dan modern kerap dianggap tidak mungkin bertemu. Dalam proyek bersama desainer busana Oscar Lawalata dengan desainer tekstil asal Inggris, Laura Miles (36), dua hal itu tidak harus bertentangan.
Keduanya bertemu di London tahun lalu ketika Oscar mengikuti kompetisi Young International Fashion Entreprenuer Award yang diadakan British Council. Miles kemudian datang ke Jakarta dan Nusa Tenggara Timur awal Juni ini untuk mengerjakan proyek kain tenun ikat bersama para penenun di Melola di Sumba Timur, Keva di Timor Tengah Utara, dan Ende. Miles yang menyebut dirinya sebagai jembatan antara perancang busana dan penenun mengajak penenun menggunakan benang sutra, rami, dan benang katun yang ketebalannya dikurangi hingga separuh ketebalan biasa.
Mereka belum merencanakan langkah lebih lanjut kecuali melihat hasil proyek ini. Miles mengatakan, penting memperkenalkan karya para penenun ini ke dunia lebih luas, terutama karena mereka berhak mendapat pengakuan atas apa yang telah mereka lakukan.