Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

PPP Tak Ingin TNI Terkotak-kotak

Kompas.com - 24/06/2010, 12:57 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com — Wakil Sekjen DPP PPP Romahurmuziy menyatakan, partainya tidak menghendaki TNI terkotak-kotak hingga menimbulkan pertentangan di kalangan anggotanya akibat kembalinya institusi militer itu ke pentas politik praktis melalui hak memilih dan dipilih dalam pemilu.

"Karena itu, kami lihat akan lebih baik memang TNI pada tahun 2014 belum menggunakan hak pilihnya," ujar Romahurmuziy kepada pers di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (24/6/2010).

Menurut dia, PPP berpendapat bahwa TNI pada saat ini berada dalam posisi terbaik karena bangsa Indonesia masih membutuhkan netralitas TNI dalam rangka konsolidasi demokrasi partai politik yang belum tuntas.

Politisi PPP itu kemudian menuturkan bahwa pada masa Orde Lama, TNI terkotak-kotak karena diberikan kebebasan berpolitik dan akibatnya membahayakan keutuhan negara karena terjadi pertentangan antarangkatan dan bahkan antarkesatuan di dalam satu angkatan.

Kemudian pada masa Orde Baru, TNI berubah, dengan doktrin pejuang prajurit dan prajurit pejuang, mendefinisikan dirinya sendiri ke dalam dwifungsi dan berubah dari alat pertahanan negara menjadi alat pertahanan satu kekuatan politik tertentu.

Dengan posisi trauma seperti itu, kata Romy, posisi tahun 1998, reformasi dan rekonsolidasi TNI sebenarnya dimaksudkan untuk membangun netralitas TNI terhadap seluruh kekuatan politik. "TNI tahun 2004 sudah keluar dari panggung politik dan kita melihat waktu yang dibutuhkan untuk reformasi TNI itu belum selesai. Bisnis-bisnis TNI sekarang masih belum semuanya tuntas dilaksanakan pull out-nya sehingga pada 2014 memang sebaiknya TNI masih belum menggunakan hak pilihnya," ujar anggota DPR itu.

Romy mengatakan, dia sulit membayangkan kalau TNI dan Polri kemudian terkotak-kotak meskipun dalam bentuk hak pilih. Norma hierarkis yang merupakan komando yang inheren dalam sebuah tubuh militer TNI dan Polri akan kacau-balau.

"Sekarang ini jumlah partai politik masih cukup banyak dan konsolidasi alamiahnya masih membutuhkan satu siklus lagi paling tidak. Dalam menjaga itu, akan lebih baik TNI berada dalam posisi netral supaya kita tidak melakukan dual custody dalam demokrasi kita," katanya.

Jadi, menurut dia, demokratisasi di tubuh TNI bisa diterima sebagai satu hak, tetapi itu perlu ditunda untuk kepentingan bangsa yang lebih besar.

Meski demikian, ia menambahkan, Indonesia masih memiliki pilihan apakah nantinya TNI mau diberikan hak pilih permanen atau tidak, karena beberapa negara di dunia telah memutuskan, berdasarkan historisitasnya masing-masing, untuk tidak memberikan hak pilih kepada tentara.

Misalnya, di Turki, tentara nasionalnya ditempatkan sebagai penjaga dan pengawal ideologi negara. Karena itu, untuk mencegah bergesernya ideologi sekularistik Turki, tentara nasionalnya tidak memiliki hak pilih sama sekali, dan itu sudah menjadi keputusan negara. "Kita juga tidak tertutup kemungkinan untuk itu karena model-model seperti itu di dunia juga terbagi dalam jumlah yang hampir sama antarnegara," katanya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Megawati Kirim 'Amicus Curiae' ke MK, KPU: Itu Bukan Alat Bukti

    Megawati Kirim "Amicus Curiae" ke MK, KPU: Itu Bukan Alat Bukti

    Nasional
    KPK Tetapkan Eks Kepala Bea Cukai Yogyakarta Eko Darmanto Tersangka TPPU

    KPK Tetapkan Eks Kepala Bea Cukai Yogyakarta Eko Darmanto Tersangka TPPU

    Nasional
    Menko Polhukam Sebut Mayoritas Pengaduan Masyarakat Terkait Masalah Agraria dan Pertanahan

    Menko Polhukam Sebut Mayoritas Pengaduan Masyarakat Terkait Masalah Agraria dan Pertanahan

    Nasional
    Menko Polhukam Minta Jajaran Terus Jaga Stabilitas agar Tak Ada Kegaduhan

    Menko Polhukam Minta Jajaran Terus Jaga Stabilitas agar Tak Ada Kegaduhan

    Nasional
    Bertemu Menlu Wang Yi, Jokowi Dorong China Ikut Bangun Transportasi di IKN

    Bertemu Menlu Wang Yi, Jokowi Dorong China Ikut Bangun Transportasi di IKN

    Nasional
    Indonesia-China Sepakat Dukung Palestina Jadi Anggota Penuh PBB

    Indonesia-China Sepakat Dukung Palestina Jadi Anggota Penuh PBB

    Nasional
    Setelah Bertemu Jokowi, Menlu China Wang Yi Akan Temui Prabowo

    Setelah Bertemu Jokowi, Menlu China Wang Yi Akan Temui Prabowo

    Nasional
    Kasus Pengemudi Fortuner Pakai Pelat TNI Palsu: Pelaku Ditangkap, Dilaporkan ke Puspom dan Bareskrim

    Kasus Pengemudi Fortuner Pakai Pelat TNI Palsu: Pelaku Ditangkap, Dilaporkan ke Puspom dan Bareskrim

    Nasional
    Saat Eks Ajudan SYL Bongkar Pemberian Uang dalam Tas ke Firli Bahuri

    Saat Eks Ajudan SYL Bongkar Pemberian Uang dalam Tas ke Firli Bahuri

    Nasional
    Menlu Retno Bertemu Menlu Wang Yi, Bahas Kerja Sama Ekonomi dan Situasi Timur Tengah

    Menlu Retno Bertemu Menlu Wang Yi, Bahas Kerja Sama Ekonomi dan Situasi Timur Tengah

    Nasional
    Soroti Kasus 'Ferienjob', Dirjen HAM Sebut Mahasiswa yang Akan Kerja Perlu Tahu Bahaya TPPO

    Soroti Kasus "Ferienjob", Dirjen HAM Sebut Mahasiswa yang Akan Kerja Perlu Tahu Bahaya TPPO

    Nasional
    Mengkaji Arah Putusan MK dalam Sengketa Pilpres 2024

    Mengkaji Arah Putusan MK dalam Sengketa Pilpres 2024

    Nasional
    Densus 88 Tangkap 7 Terduga Teroris Jaringan Jamaah Islamiyah di Sulawesi Tengah

    Densus 88 Tangkap 7 Terduga Teroris Jaringan Jamaah Islamiyah di Sulawesi Tengah

    Nasional
    Mantan PM Inggris Tony Blair Temui Jokowi di Istana

    Mantan PM Inggris Tony Blair Temui Jokowi di Istana

    Nasional
    Pendukung Akan Aksi di MK, TKN: Turun ke Jalan Bukan Gaya Prabowo Banget, tetapi Keadaan Memaksa

    Pendukung Akan Aksi di MK, TKN: Turun ke Jalan Bukan Gaya Prabowo Banget, tetapi Keadaan Memaksa

    Nasional
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com