JAKARTA, KOMPAS.com — Pengamat politik Burhanuddin Muhtadi mengatakan, usulan para politikus Senayan untuk mengelola anggaran Rp 15 miliar per orang per daerah pemilihan (atau disebut dana aspirasi) mengada-ada.
Ditegaskannya, tanggung jawab pengelolaan dana dan pembangunan daerah berada di tangan eksekutif, bukan legislatif. Usulan dana aspirasi yang kini tengah digodok di Sekretariat Gabungan parpol pendukung pemerintah juga rawan kebocoran.
"Dana aspirasi tak jelas siapa yang mengeksekusinya. DPR seharusnya melakukan pengawasan penggunaan anggaran yang dilakukan pemerintah. Tidak bisa mereka mengawasi program yang mereka eksekusi sendiri. Mereka tidak bisa menjadi wasit sekaligus pemain," ujar Burhanuddin ketika dihubungi Kompas.com, Minggu (6/6/2010).
Di Filipina, lanjutnya, dana dapil memiliki tingkat kebocoran yang tinggi akibat minimnya pengawasan. Sementara itu, di beberapa negara lainnya, kebijakan dana dapil tak ubahnya "sogokan" dari eksekutif agar legislatif tak merecoki kebijakan pemerintah.
Dana aspirasi, selain berpotensi merusak iklim demokrasi secara struktural dan kultural, juga dikhawatirkan menimbulkan politik uang. Alumni Australian National University ini khawatir, usulan dana aspirasi ini akhirnya malah masuk ke kas partai politik sebagai modal Pemilu 2014. "Ini lebih dalam kerangka mencari variasi sumber dana partai," imbuhnya.
Secara terpisah, pemerintah menegaskan tak perlu dana aspirasi atau dana pembangunan daerah pemilihan senilai Rp 15 miliar per daerah pemilihan anggota DPR setiap tahun. Itu akan menyebabkan kerancuan hubungan DPR dengan pemerintah dan memperumit sistem penganggaran yang ada selama ini.
"Tak ada satu pun daerah yang tidak kebagian APBN. Jadi, dana aspirasi seperti itu sama sekali tidak perlu. Seluruh program ada pembagian anggarannya dan meliputi seluruh daerah," kata Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa di Jakarta, Jumat (4/6/2010) lalu.
Selain Hatta, Menteri Keuangan Agus DW Martowardojo juga tidak menyetujui usulan tersebut. Agus mengingatkan, keterwakilan daerah tidak hanya oleh DPR, tetapi juga DPD dan DPRD, provinsi ataupun kabupaten/kota. Keterwakilan anggota DPR di setiap daerah pemilihan (dapil) didasarkan atas jumlah penduduknya.
Daerah dengan jumlah penduduk yang padat akan merepresentasikan jumlah anggota DPR yang lebih banyak dan anggarannya lebih besar. Jawa dan Bali dengan jumlah warga yang lebih banyak mendapatkan alokasi dana yang lebih besar daripada dapil lain.
Jika dana aspirasi disetujui, kawasan Indonesia bagian barat akan memperoleh dana lebih besar dibandingkan dengan Indonesia bagian timur. Selain itu, daerah dengan kapasitas fiskal yang kaya-raya akan mendapatkan dana aspirasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan daerah yang memiliki kapasitas keuangan rendah.
Atas dasar itu, usulan dana aspirasi tidak akan menyelesaikan masalah ketidakseimbangan fiskal antardaerah. "Usulan itu juga menimbulkan inefisiensi dalam penggunaan dana karena peruntukannya ditentukan anggota DPR dan bukan pemerintah daerah. Aspek kesetaraan dan keadilan tak akan terpenuhi karena daerah dengan kapasitas keuangan tinggi justru mendapatkan alokasi," katanya.
Agus Martowardojo menuturkan, pemberian dana aspirasi juga berpotensi melanggar sejumlah undang-undang, serta berpotensi melanggar prinsip pembagian tugas dan wewenang antara lembaga eksekutif dan legislatif.
Selain itu, juga berpotensi kurang sejalan dengan prinsip otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. "Dana aspirasi juga berpotensi menimbulkan komplikasi pengalokasian dana dan akan menimbulkan masalah administrasi di masing-masing APBD, kerumitan pada perencanaan dan implementasi, serta bermasalah dalam pertanggungjawabannya," papar Menkeu lagi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.