Jakarta, Kompas -
”Masyarakat nelayan dan pesisir Pulau Timor, Rote-Ndao, Alor, dan negara tetangga Timor Leste yang terkena dampak pencemaran terus bertanya-tanya,” kata Ferdi Tanoni, koordinator Tim Advokasi Pencemaran Laut Timor (TAPLT) wilayah Indonesia, Selasa (1/6) di Jakarta.
Sumur minyak Montara yang terletak di Blok Atlas Barat, Laut Timor, yang dioperasikan PTTEP Asutralasia, meledak pada 21 Agustus 2009. Sejak saat itu, selama 80 hari kemudian, hingga kebocoran di sumur berhasil dikendalikan, sumur per harinya memuntahkan 500.000 liter minyak mentah, gas, kondensat, dan zat timah hitam.
Menurut Ferdi, akibatnya, masyarakat pesisir, nelayan, dan Pemerintah NTT (Indonesia) menderita kerugian sekitar Rp 510 miliar. Anehnya, pemerintah pusat hanya menuntut ganti rugi Rp 291 miliar tanpa investigasi yang kuat ke lapangan. Sampai saat ini pun tuntutan ganti rugi itu belum jelas dan amat merugikan rakyat di sekitar Laut Timor.
Sementara itu, otoritas Timor Leste pada hari Selasa menuduh pihak Woodside Petroleum, Australia, telah menginjak-injak hak berdaulatnya karena telah menolak rencana memproses gas Laut Timor untuk dialirkan ke daratan Timor Leste dan hanya menjadi anjungan terapung. Rekanan yang tergabung dalam pakta perjanjian kerja sama pengelolaan ladang gas Sunrise, termasuk Woodside dan Shell, telah menyerahkan laporan tentang referensi mereka untuk pembangunan anjungan terapung kepada Pemerintah Timor Leste, Mei lalu.
Juru bicara Timor Leste, Agio Pareira, menuduh Woodside sudah mengangkangi kepentingan rakyat negaranya. CEO Woodside Don Voelte kepada wartawan di Dili mengatakan, proposal atas anjungan LNG terapung itu masih dalam proses diskusi. Namun, dia menambahkan, meskipun gas layak secara teknis untuk dialirkan melalui pipa ke daratan Timor Leste, anjungan terapung tampaknya lebih masuk akal karena lebih ekonomis.