Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bajakan Vs Hak Royalti Eyang Gesang

Kompas.com - 01/06/2010, 15:27 WIB

Oleh Anton Prasetyo

Menjadi hak bagi seorang berjasa besar dalam dunia permusikan adalah mendapatkan royalti. Tak terkecuali pada diri maestro besar Gesang Martohartono yang telah menggubah lagu Bengawan Solo. Lagu yang didendangkan dengan jenis keroncong ini mendapat tempat di pasar permusikan hingga diterjemahkan ke dalam 13 bahasa asing. Tentu dari bahasa Jawa yang notabene merupakan bahasa daerah hingga merambah ke bahasa internasional adalah capaian yang spektakuler.

Kondisi betapa besarnya apresiasi dunia permusikan atas lagu Bengawan Solo menunjukkan betapa lagu ini sangat diminati dan menyentuh hati penikmatnya. Dari sini tidak mengherankan jika dalam rangka menghormat, memberi hak dan ucapan terima kasih para penikmat lagi ini mengeluarkan sedikit uang untuk membeli keping VCD, kaset, dan semacamnya, yang semuanya adalah original. Dari uang inilah nantinya akan terkumpul hingga bisa diberikan kepada banyak pihak termasuk memberi royalti kepada pencipta lagu, dalam hal ini adalah Gesang Martohartono atau akrab disapa Eyang Gesang.

Dari beberapa sumber media massa yang menginformasikan banyak hal tentang Eyang Gesang, nominal royalti yang diterimanya sudah cukup membanggakan. Dalam jangka satu semester (enam bulan), royalti yang diterimanya mencapai kisaran Rp 80 juta. Artinya, dalam satu bulan ia bisa mengantongi hingga kisaran Rp 13,33 juta.

Namun, yang menjadi persoalan adalah ketidakimbangan antara royalti yang diterima Eyang Gesang yang bersumber dari dalam negeri dan dari luar negeri. Royalti yang diterima Eyang Gesang dari dalam negeri jauh lebih rendah di bandingkan dari luar negeri.

Royalti yang diterima Eyang Gesang dari dalam negeri atau dari Karya Cipta Indonesia (KCI) selama satu semester kisaran Rp 5 juta. Sementara itu, royalti yang diterima dari Pecinta Musik Pertiwi (PMP) atau dari luar negeri kisaran Rp 75 juta. Bahkan, suatu ketika bisa mencapai Rp 100 juta.

Perbandingan bak langit dan bumi ini menandakan betapa penghargaan masyarakat permusikan dari dalam negeri perlu dipertanyakan. Jika toh ada perbandingan nominal royalti yang diterimakan kepada pencipta lagu, karena musik berada di dalam negeri, dengan beragam keunggulannya, mestinya memiliki nominal nilai yang setidaknya setara. Meski demikian, kita juga tidak dapat mengelak dari ini semua. Di dalam negeri kita tercinta Indonesia, praktik untuk tidak menghargai pencipta permusikan sangat bisa dilakukan dengan bebasnya.

Lihatlah betapa di pinggir jalan penjual VCD juga kaset bajakan tersebar di mana-mana. Mereka seakan pedagang barang halal yang telah dilegalkan pemerintah. Para penjual ini dengan gagahnya memasang spanduk besar, menjajar dagangannya di pinggir jalan besar dengan memperlihatkan secara mencolok kepada pengguna jalan sehingga mereka bisa mengetahui dengan jelas keberadaannya. Belum puas dengan begitu, banyak pedagang yang menggunakan tempat strategis semisal dekat pasar tradisional-modern, dekat perempatan dan tempat-tempat strategis lainnya.

Berakar dari sinilah penikmat musik pun akan merasa diuntungkan dengan keberadaannya. Mereka tidak harus mengeluarkan uang yang besar untuk mendapatkan segudang musik yang digemarinya. Jika para penikmat musik ini harus mengeluarkan uang sebesar Rp 40.000 hingga Rp 100.000 untuk mendapatkan satu keping VCD original, dengan membeli VCD bajakan di tepi jalan raya, mereka bisa mendapatkan harga Rp 4.000 hingga Rp 10.000. Artinya cukup hanya mengeluarkan uang 10 persen dari harga aslinya, para penikmat musik bisa mendapatkan sekumpulan lagu yang digemarinya. Padahal dari sini secara kualitas suara, tak banyak ada perbedaan antara yang original dan yang bajakan. Bahkan, secara keseluruhan kualitas antara original dan bajakan hampir sama.

Maka dari sini bukan menjadi hal yang mustahil saat penikmat musik memilih membeli VCD dan/atau kaset bajakan dengan harga jauh lebih murah di bawah harga VCD dan/atau kaset original. Apalagi, saat melihat betapa perekonomian masyarakat saat ini sangat tidak menentu. Untuk kebutuhan primer saja (makan, pakaian, dan tempat tinggal) harus kelabakan ke sana-kemari, hingga mengandalkan gali lubang tutup lubang. Maka, kesempatan adanya barang-barang murah dengan kualitas sama adalah pilihan yang tepat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dengan tanpa banyak memikirkan perekonomian.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com